Raumanen
Aku berdiri di bawah flamboyan di pinggir jalan raya. Kulihat-lihat jalan kekota. Begitu banyak kendaraan berlalu tetapi satupun tak berhenti, menurunkan tamu bagiku.
Akhir-akhir ini aku begitu mendambakan tamu. Entah mengapa. Mungkin sudah terlalu lama aku terkucil disini.
Terkucil ? Ah, bukankah aku yang mengucil diriku…. Mencari ketenangan, yang terkadang lebih berharga daripada kebahagiaan. Karena kebahagiaan. Itu adalah perjuangan, danpada diriku ini tak ada bekal lagi untuk berjuang.
Aku mau tenang saja. Dan sebetulnya aku berhasil. Cuma akhir-akhir ini aku makin gelisah memerciki jiwaku. Sepeti kalau lewat suatu air mancur-sekalipun dari jauh, masih juga terkena percikanya.
Mungkin aku sudah terlalu lama di sini.
Tempo hari nenekku datang menjengukku.
Aku heran-jalan begitu jauh, bagaimana pula dapat dicarinya dan ditempuhnya sendiri?
Tetapi nenekku memang orang hebat. Menjadi janda ketika Tante Uli, adik bungsu Papa, masih dalam kandungan. Membesarkan lima orang anak seorang diri. Semuanya menjadi manusia berguna: tak ada yang cengeng, tak ada yang gagal. Memang hebat nenekku ini-bagaimana sampai mendapat cucu seperti aku?
“Romi oki,” kata Nenek lembut. Lucu, ya, dia rupanya menganggapa diriku masih kecil. Aku dipanggil ‘Romi kecil’ olehnya. Dia sendiri adalah ‘Romi besar’. Biasanya dipanggil ‘Romi besar’ oleh cucu-cucunya.
Namaku, Raumanen, kuwarisi daripadanya. Sebetulnya namaku Raumanen Theresia. Aku mendapat bagian depan, dan Resi sepupuku, nagian belakangnya. Sama seperti kebun cengkeh itu di Minahasa. Warisan yang dibagi adil antara kedua cucu perempuannya.
“Romi oki,” kata Nenek. “Mengapa kau bercokol terus disini?”
Aku tak tahu apa yang akan kujawab.
Mengapa aku bercokol terus disini.
Mengapa tidak?haruskah aku kembali ke kota besar itu, yang begitu sembah sesal, begiru kaya kenangan? Kalau aku tak bersama Monang….Tetapi bukanlah sebab Monang aku dibawa kemari.
Ah, aku bingung. Aku tak ingat lagi. Apa sebabnya aku kemari, dan untuk apa. Tetapi aku masih ingat namaku. Namaku Raumanen, suatu nama Minahasa kuna. Yang kuwarisi dari nenk tua ini, yang juga mewariskan setengah kebun cengkehnya kepadaku. Itu masih kuingat, nenek.
“Kalau kau tetap disinitak ada gunanya bagi siapapun,” kata Nenek. “Bagi Tuhan atau bagi manusia. Sama sekali tidak ada gunanya.”
Dia mau agar aku ikut dengannya. Barangkali ada baiknya bila kuturuti kehendaknya. Barangkali di sisi nenekku yang begitu hebat, begitu tabah, berani dan bijaksana, dapat kuambil alih beberapa dari sifat-sifat yang luhur itu, selain setengahnamanyadan setengah kebun cengkehnya.
Ah, tetapi sudah terlambat bagiku…Berguna? Aku mau dijadikan berguna? Sedangkan au dilupakan Tuhan dan manusia….
Semut merah menggerayangi dahan flamboyan diatas kepalaku. Kuntum-kuntum lembayung itu begitu indah tercukil dalam cahaya mentari.
“…telanjang dalam badai, bersatu dengan mentari….”
Kata-kata indah, tercukil begitu jelas dalam ingatanku. Tetapi aku tak ingat dimana aku pernah mendengarnya atau membacanya. Memang akhir-akhir ini aku makin sukar mengingat hal-hal kecil dan hal-hal penting.
Seperti-hari apa hari ini?
Atau-tahun berapa, bulan apa?
Tetapi tak benat bahwa ingatanku sudah hilang sama sekali. Memang, terlalu lama kubenamkan diri dari banjir air mataku. Membutakan mata dengan semarak deritaku. Sehinggal hal-hal sepenting hari dan tanggal, tak kuperhatikan lagi. Padahal justru hari, bulan, dan tahun itu merupakan mercusuar-mercusuar yang turut mengarahkan pelayaran bahtera hidup kita.
Ya memang bahteraku kandas….Kuabaikan sinar-sinar mercusuar-mercusuar itu. Mungkin oleh sebab itu teman-temanku makin jarang menjengukku.
Atau barangkali mereka memang menjengukku. Tetapi aku tak memperhatikannya, mengabaikannya. Dan mereka pergi lagi….Seperti nenekku tadi. Kecewa, marah, karena aku tak menyahut, tak menurut.
Barangkali Nenek akan datang lagi. Barangkali aku akan ikut dengannya kali ini. Tetapi sekarang aku masih belum bersedia. Aku masih menunggu.
Jadi, aku berdiri di bawah flamboyan di pinggir jalan raya, melihat-lihat jalan kota. Sangat mengharapkan tamu….Terutama Monang!
Dapatkah mereka melihatku, orang-orang yang berlalu dalam mobil-mobilnya yang kencang? Bertanya pada dirinya, “Siapakah wanita aneh itu, dinaungan pohon di sana?”
Kutahu, kelakuanku terlalu aneh. Rasanya aku lupa sesuatu, tetapi aku tak ingat lagi apa. Mungkin sebab itu aku terpaksa tinggal disini. Sampai ingat lagi.
Dikutip dari: Raumanen, Marianne Katoppo, Gaya Favorit Press, 1986
No comments:
Post a Comment