SURYA Online - » Ada Bola Api Raksasa Jatuh di Bone
Posted using ShareThis
Tuesday, October 20, 2009
Monday, October 12, 2009
fisikawan muslim
Pemenang Hadiah Nobel bidang Fisika tahun 1979
By Ahmad Y Samantho
Pada masa kebangkitan kembali dunia Islam di awal abad 21 kini, makin banyak tokoh aktifis pergerakan Islam yang memprihatinkan ketertinggalan bangsa-bangsa umat Islam dalam penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ketertinggalan dan kelemahan bangsa-bangsa Muslim tersebut terbukti semakin membelenggu kemerdekaan dan kemandirian bangsa-bangsa muslim baik secara ekonomi, politik maupun sosial-budaya, sejak era kolonialisme-imperialisme sampai ini era postkolonialisme kini. Dampak ikutan lainnya ialah ketika filsafat dan paradigma sains-teknologi moderen, yang dikembangkan dunia Barat dan Timur Non-Islam itu, ternyata telah membawa juga ekses negatif dalam pola pikir dan budaya, kerusakan di bidang lingkungan hidup dan tragedi kemanusian secara global.
Salah satu tokoh terkemuka sainstis dari dunia Islam di akhir abad 20 yang sangat memprihatinkan kondisi sains-teknologi umat Islam ini adalah Prof. Dr. M. Abdus Salam (wafat 21 November 1996 dalam usia 70 tahun). Menurutnya pengakuannya ada beberapa hal yang menyebabkannya begitu mencurahkan pikiran dan tenaganya untuk memajukan ilmu pengetahuan di dunia ke-tiga (yang mayoritas adalah bangsa-bangsa Muslim). Hal itu: pertama, karena ia adalah seorang muslim. Baginya persaudaraan sesama Muslim sangatlah penting, dan yang kedua karena sejak usianya yang masih muda ia sudah terlibat dalam kerangka kerja PBB.
Yang harus mendapat perhatian adalah jurang perbedaan antara Utara dan Selatan, atau negara maju dan negara berkembang. Kedua belah pihak memiliki masalah yang berbeda. Negara-negara Utara menghadapi ancaman perlombaan senjata dan perang nuklir, sedangkan Selatan menghadapi ancaman kelaparan dan kemiskinan yang akut. Masalah ini timbul, menurut Abdus Salam, karena satu pihak memiliki jalur ilmu pengetahuan sedangkan yang lainnya tidak.
Kunci permasalahannya adalah harus ada pemerataan ilmu pengetahuan secara adil. Bukan sekedar alih teknologi. Menurut satu-satunya Muslim pemenang hadiah Nobel bidang Fisika ini, teknologi hanyalah aplikasi pengetahuan ilmiah terhadap masalah-masalah manusia. Keliru kalau ada asumsi bahwa alih teknologi akan dapat menyelamatkan dunia ketiga. Dunia ketiga seharusnya lebih meminta alih atau merebut ilmu-ilmu pengetahuan dasar yang dapat menumbuhkan teknologi sesuai dengan kebutuhan bangsanya yang asli dan domestik.
Abdus Salam memberi contoh Jepang misalnya. Bertahun-tahun lamanya mereka menyerap ilmu pengetahuan dasar dari dunia Barat. Sekarang kita dapat melihat bagaimana Jepang mampu menghasilkan teknologi tinggi. Kecenderungan yang sama tengah berlangsung di Brazil, Korea Selatan, India, Argentina dan Cina.
Abdus Salam adalah fisikawan Muslim yang paling menonjol abad ini. Dia termasuk orang pertama yang mengubah pandangan parsialisme para fisikawan dalam melihat kelima gaya dasar yang berperan di alam ini, yaitu gaya listrik, gaya magnet, gaya gravitasi, gaya kuat yang menahan proton dan neutron tetap berdekatan dalam inti, serta gaya (arus) lemah yang antara lain bertanggung jawab terhadap lambatnya reaksi peluruhan inti radioaktif.
Selama berabad-abad kelima gaya itu dipahami secara terpisah menurut kerangka dalil dan postulatnya yang berbeda-beda. Adanya kesatuan dalam interaksi gaya-gaya dirumuskan oleh trio Abdus Salam, Seldon Lee Glashow dan Steven Weinberg dalam terorinya “Unifying the Forces.” Menurut teori yang diumumkan 1967 itu, arus lemah dalam inti atom diageni oleh tiga partikel yang masing-masing memancarkan arus atau gaya kuat. Dua belas tahun kemudian hukum itulah yang melahirkan Nobel Fisika 1979.
Eksistensi tiga partikel telah dibuktikan secara eksperimental tahun 1983 oleh tim riset yang dipimpin oleh Carlo Rubia, direktur CERN (Centre European de Recherche Nucleaire) di Jenewa, Swiss. Ternyata rintisan Abdus Salam itu kemudian mengilhami para fisikawan lain ketika mengembangkan teori-teori kosmologi mutakhir seperti Grand Unifying Theori (GUT) yang dicanangkan ilmuwan AS dan Theory Everything-nya Stephen Hawking. Melalui dua teori itulah para fisikawan dan kosmolog dunia kini berambisi untuk menjelaskan rahasia penciptaan alam semesta dalam satu teori tunggal yang utuh.
Abdus Salam lahir di Jhang, Pakistan pada 1926. Ia masuk Universitas Punjab pada usia 14 tahun dengan nilai yang tertinggi dari yang pernah ada. Mengambil gelar BA di St. Jhon College, Cambridge University. Dalam usianya yang baru 22 tahun dia meraih gelar Doktor fisika teoritis dengan predikat suma cum laude dari University of Cambridge, sekaligus meraih gelar Profesor fisika di Universitas Punjab, Lahore, Pakistan. Khusus untuk pelajaran matematika ia bahkan meraih nilai rata-rata 10 di St. Jhon College, Cambridge.
Karena kecerdasannya yang luar biasa Abdus Salam pernah dipanggil pulang oleh pemerintah Pakistan. Selama sebelas tahun sejak 1963 dia menjadi penasehat Presiden Ayub Khan khusus untuk menangani pengembangan Iptek di negaranya. Ia mengundurkan diri dari posisinya di pemerintahan ketika Zulfiqar Ali Butho naik menjadi PM Pakistan.
Sebagian besar usianya dihabiskan sebagai guru besar fisika di Imperial College of Science and Technology, London, dari 1957-1993. Sejak 1964 ia menjadi peneliti senior di International Center for Theoritical Physics (ICTP) di Trieste, Itali, sekaligus menjadi direkturnya selama 30 tahun.
Hingga akhir hayatnya, putra terbaik Umat Islam itu mendapat tak kurang 39 gelar doktor honoris causa. Antara lain dari Universitas Edinburg (1971), Universitas Trieste, Itali (1979), Universitas Islamabad (1979) dan universitas bergengsi di Peru, India, Polandia, Yordania, Venezuela, Turki, Filipina, China, Swedia, Belgia dan Rusia. Ia juga menjadi anggota dan anggota kehormatan Akademi Ilmu Pengetahuan Nasional 35 negara di Asia, Afrika dan Eropa dan Amerika.
Namun demikian, kerendahhatiannya tidak tertutupi oleh kehebatan prestasi ilmiahnya. Abdus Salam bahkan bersedia menjawab surat permintaan ijin kami (saya dan 3 orang teman) mahasiswa Unpad dan ITB Bandung yang pada tahun 1988 menyuratinya untuk minta ijin menterjemahkan beberapa makalahnya ke bahasa Indonesia dan menerbitkan di Indonesia. Ia bahkan membebaskan kami dari royalti atas terjemahan itu. Abdus Salam juga juga adalah duta Islam yang baik. Dalam pidato penganugrahan Nobel Fisika di Karolinska Institute, Swedia, Abdus Salam mengawalinya dengan ucapan basmallah. Di situ ia mengakui terus terang bahwa risetnya itu didasari oleh keyakinannya terhadap kalimah Tauhid. “Saya berharap Unifying The Forces dapat memberi landasan ilmiah terhadap keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Esa,” kata penulis 250 makalah ilmiah fisika partikel itu.
Dalam makalahnya Faith and Science, Salam menegaskan bahwa pemahaman sains masa kini sesungguhnya tidaklah bertabrakan dengan pemikiran metafisika dalam pemahaman agama. “Masalah itu setidaknya-tidaknya tidak akan terjadi dalam Islam.” Konsep kosmologi moderen yang sedang dikembangkan untuk memahami teori penciptaan alam semesta, menurutnya, kini dapat dipahami semakin dekat dengan konsep penciptaan yang diisyaratkan Al Qur’an.
“Saya Muslim karena saya percaya dengan pesan spiritual Al Qur’an, yang banyak membantu saya dalam memahami hukum alam, dengan contoh-contoh fenomena kosmologi, biologi dan kedokteran sebagai tanda-tanda Tuhan bagi seluruh manusia,” kata Abdus Salam dalam salah satu Sidang UNESCO di Paris, 1984. Dalam makalah The Holy Qur’an and Science” ia banyak banyak mengutip ayat al-Qur’an, tentang penciptaan langit dan bumi dan seisinya.
Menurutnya, ada tujuh ratus lima puluh lebih ayat Al Qur’an (hampir seperdelapan dari keseluruhan isi kitab Suci itu) mendorong kaum beriman untuk mempelajari dan merenungkan alam semesta, demi kemaslahatan umat dalam pencarian ilmu pengetahuan dan pemahaman ilmiah bagi kehidupan masyarakat. Mengutip pendapat Maurice Bucaile dalam bukunya “The Bible, The Qur’an and Science” : “Tidak ada satupun ayat al-Qur’an yang menggambarkan fenomena alam secara bertentangan dengan apa yang kemudian kita ketahui melalui penemuan-penemuan dalam sains.”
Dalam makalahnya “The Future of Sciences in Islam” Abdus Salam juga menegaskan bahwa sebenarnya sains moderen bukanlah semata-mata perkembangan langsung dari tradisi ilmiah Yunani, tetapi justru sains berkembang di Barat setelah mendapat sentuhan emprisisme dan metodologi ilmiah eksperimental, observasi dan cara pengukuran yang teliti dari kebudayaan Islam. Dengan mengutip pendapat Brifault, Abdus Salam menegaskan bahwa Bangsa Yunani memang telah mensitematisasikan, mengeneralisasikan dan menteorikan, namun cara-cara yang tekun dalam penelitian dan observasi yang mendalam serta upaya eksperimental adalah sesuatu watak yang asing bagi watak bangsa Yunani… Apa yang kini kita sebut sebagai sains adalah muncul sebagai suatu hasil dari metode baru eksperimental, observasi dan pengukuran yang diperkenalkan kepada Eropa oleh orang-orang Arab& Persia Muslim… Sains Moderen adalah merupakan sumbangan yang bersejarah dari peradaban Islam.
Untuk mengetahui bagaimana pendapat para pengamat luar mengenai ilmu pengetahuan di negeri-negeri Islam, Abdus Salam mengutip pendapat Francis Giles dalam jurnal ilmiah berpengaruh, Nature, terbitan Maret 1983: “Apa yang terjadi dengan ilmu pengetahuan kaum Muslimin? Di ujung seribu tahun yang lalu, kaum muslimin telah membuat kemajuan yang luar biasa dalam matematika dan kedokteran. Bahdag pada hari-hari kegemilangannya dan juga Spanyol Selatan (Cordova) telah membangun universitas-universitas di mana terdapat ribuan perkumpulan para ilmuwan, para sultan (penguasa) dan seniman. Bahkan ada semangat kebersamaan ketebukaan dan kebebasan yang mengijinkan orang-orang Yahudi, Kristen dan Muslim bekerja berdampingan. Sekarang hal itu hanyalah tinggal kenangan.”
Kritiknya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di negara-negara maju adalah bahwa mereka terlalu banyak menghambur-hamburkan sumber daya dan biaya riset untuk untuk kepentingan pertahanan militer dan perlombaan senjata pemusnah masal umat manusia, seperti bom nuklir. Padahal biaya untuk pertahanan (riset militer) tersebut telah menghisap segala sumber daya yang diperlukan untuk mengatasi masalah-masalah kemanusiaan lainnya. Negara maju menurut Salam, telah membuang-buang kekayaan dunia dan juga waktu dan energi para ilmuwannya yang sebenarnya dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas kehidupan umat manusia, dan mengentaskan kemiskinan di negara-negara dunia ketiga.
Padahal menurut Abdus Salam, jika perbedaan antara Utara dan Selatan tidak juga merapat, akan terjadi proses aliran masalah yang terjadi di negara-negara miskin akan menembus ke negara-negara kaya & maju. Negara maju tak dapat mengisolir diri dari masalah yang dihadapi negara miskin. Dan yang akan terjadi di dunia adalah apa yang terjadi di negara-negara dunia ketiga seakarang ini: Kerusuhan, pemerintahan militer yang menindas, kegelisahan, dan semua orang akhirnya berusaha untuk menindas yang lain. Abdus Salam telah menyarankan agar negara-negara industri mau menyediakan dirinya untuk mengangkat nasib negara-negara berkembang. Misalnya pendidikan tinggi dapat diambil dari AS dan Inggris, Jepang dan Jerman Barat menyediakan teknologinya. Inilah yang menjadi harapan Abdus Salam di masa mendatang.
Di lain pihak Abdus Salam juga melakukan otokritik terhadap umat Islam. Menurutnya, sains kreatif telah mulai mati dalam peradaban Muslim sejak sekitar tahun 1100 M dan menjadi semakin mundur sampai 250 tahun kemudian. Di antara peradaban besar di planet bumi, sains yang terlemah saat ini ada pada masyarakat Muslim.
Sebabnya adalah, menurut Salam, selain sebab eksternal serangan tentara Mongol, paling utama adalah karena sebab internal, yaitu: dominannya motivasi politik yang berlebihan, sektarianisme (fanatisme mazhab) dan konflik keagamaan, anggapan bahwa Islam menolak ilmu pengetahuan, meluasnya ortodoksi taqlid dan tertutupnya ijtihad dalam semua lapangan ilmu, termasuk sains, menguatnya semangat sufisme (negatif) yang anti keduniawian.
Mengutip Fracis Giles, Abdus Salam menjelaskan: “Mengapa sekarang ini, walaupun mereka berlimpah dengan kekayaan dari eksport minyak bumi, policy (keputusan politik) mengenai ilmu pengetahuan sangatlah tidak mendukung dan membuat nyaman para ilmuwan bekerja. Itulah yang terjadi di wilayah Timur Tengah, yang kini dikuasai para diktator. Sehingga ilmu pengetahuan tak dapat mengakar dan berkembang secara mempribumi. Tidaklah terlalu mengherankan kalau kemudioan terjadi brain drain (larinya para ilmuwan dalam negeri) ke negara-negara industri maju, sehingga semakin melemahkan kehidupan intelektual seluruh Timur Tengah.”
Saran Abdus Salam untuk Membangkitkan Sains Kaum Muslimin
Menyadari kelemahan dan ketertinggalan bangsa-bangsa umat Islam saat ini, Abdus Salam, dalam berbagai makalahnya di berbagai kesempatan, menyampaikan beberapa saran untuk membangkitkan kembali aktifitas sains di dunia Islam. Beberapa saran tersebut :
1. Umat Islam, di mana pun adanya wajib dan harus mendalami dan menguasai basic sciences (ilmu-ilmu pengetahuan dasar/ilmu murni) dan applied sciences (ilmu terapan) yang menjadi dasar bagi pengembangan teknologi yang orisinal sesuai kebutuhan dan kepentingan dalam negeri masing-masing. Dalam hal ini kita mesti memprioritaskan pendidikan sains (ilmu pengetahuan) sejak tingkat dasar-menengah pertama, kedua dan ketiga sampai universitas. Apa yang dilakukan oleh Jepang, China, Korea Selatan, sangat bagus untuk menjadi contoh bagi umat Islam.
2. Umat Islam dari berbagai bangsa harus bersatu padu untuk membuat semacam lembaga persemakmuran sains Islam Internasional dan masyarakat ilmiah dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang terbuka.
3. Alokasi anggaran (budget) negara-negara Muslim untuk riset dan pengembangan sains mesti diperbesar minimal 2 % dari APBN-nya.
4. Umat Islam dari berbagai negara (dalam kerangka OKI atau yang lainnya) sedapat mungkin membuat yayasan dan institusi ilmiah lainnya untuk mengumpulkan dan menggali sumber dana bagi penelitian dan pengembangan sains dan pendidikan sumberdaya manusianya (pelajar, mahasiswa, ilmuwan & cendikiawan muslim.) dan mengembangkan spesialisasi sains sesuai dengan daerah geografisnya.
5. Perlu memperluas kontak dan pertukaran pemikiran antara para mahasiswa dan masyarakat ilmiah dalam negeri dengan masyarakat ilmiah internasional melalui kunjungan dua arah, kerjasama bilateral dan multilateral, konferensi-konferensi dan simposium-simposium sains internasional. Keberadaan sains di negara-negara muslim masih lemah disebabkan masih terisolir dari pergaulan ilmiah internasional.
6. Yayasan sains Islam atau persemakmuran sains Islam perlu mensponsori penelitian-penelitan ilmu terapan yang revelan dengan problema pembangunan dan kebutuhan domestik masing-masing negara Islam, seperti teknologi perminyakan dan pertambangan, teknologi kesehatan dan pertanian, teknologi kelautan dan sumberdaya perairan, teknologi industri nasional.
Abdus Salam menjadi anggota kehormatan dari Akademi Ilmu Pengetahuan di AS dan Rusia. Namun hal itu tidak menghambatnya untuk berkiprah di sejumlah negara berkembang. Itu juga dilakukannya ketika ia bertugas di Komite Sains PBB dan 35 Organisasi profesi ilmiah. Maka tak anaeh, bila mantan Vice President dari International Union of Pure and Applied Physics (IUAP, 1972-1978) itu pun meraih tujuh penghargaan atas kontribusinya dalam mempromosikan perdamaian dan kerjasama iptek internasional. Antara lain Atoms for Peace Medal and Award dari Atoms for Peace Foundation (1968), First Edinburg Medal and Prize dari Skotlandia (1988), “Genoa” International Development of People Prize dari Italia (1988) dan Catalunya International Prize dari Spanyol (1990).
Begitulah, ketokohan Abdus Salam memang pantas diakui dunia, terutama diteladani oleh Umat Islam. Dr. Robert Walgate, wartawan senior dari New Scientist, pernah mengatakan, “Abdus Salam adalah fisikawan muslim yang cemerlang dalam mengemban misinya sebagai duta besar dari tiga dunia: Islam, fisika teoritis, dan kerja sama internasional.”
(Ahmad Y Samantho)
Kamal al-Din al-Farisi Ahli Fisika dari Persia
Wednesday, April 22, 2009, 0:53
Kisah, Tokoh
319 views
Add a comment
Kamal al-Din al-Farisi adalah seorang ahli fisika Muslim terkemuka dari Persia. Ia dilahirkan di kota Tabriz, Persia sekarang Iran- pada 1267 M dan meninggal pada 1319 M. Ilmuwan yang bernama lengkap Kamal al-Din Abu’l-Hasan Muhammad Al-Farisi itu kesohor dengan kontribusinya tentang optik serta teori angka.
Ia merupakan murid seorang astronom dan ahli matematika terkenal, Qutb al-Din al-Shirazi (1236-1311), yang juga murid Nasiruddin al-Tusi. Dalam bidang optik, al-Farisi berhasil merevisi teori pembiasan cahaya yang dicetuskan para ahli fisika sebelumnya. Gurunya, Shirazi memberi saran agar al-Farisi membedah teori pembiasan cahaya yang telah ditulis ahli fisika Muslim legendaris Ibnu al-Haytham (965-1039).
Secara mendalam, al-Farisi melakukan studi secara mendala mengenai risalah optik yang ditulis pendahuluannya itu. Sang guru juga menyarankannya agar melakukan revisi terhadap karya Ibnu Haytham. Buku hasil revisi terhadap pemikiran al-Hacen – nama panggilan Ibnu Haytham di Barat — tersebut kemudian jadi sebuah adikarya, yakni Kitab Tanqih al-Manazir (Revisi tentang Optik).
Kitab Tanqih merupakan pendapat dan pandangan al-Farisi terhadap buah karya Ibnu Haytham. Dalam pandangannya, tak semua teori optik yang diajukan Ibnu Haytham menemukan kebenaran. Guna menutupi kelemahan teori Ibnu Haytham, al-Farisi Al-Farisi lalu mengusulkan teori alternatif. Sehingga, kelemahan dalam teori optik Ibnu Haytham dapat disempurnakan.
Salah satu bagian yang paling penting dalam karya al-Farisi adalah komentarnya tentang teori pelangi. Ibnu Haytham sesungguhnya mengusulkan sebuah teori, tapi al-Farisi mempertimbangkan dua teori yakni teori Ibnu Haytham dan teori Ibnu Sina (Avicenna) sebelum mencetuskan teori baru. Teori yang diusulkan al-Farisi sungguh luar biasa. Ia mampu menjelaskan fenomena alam bernama pelangi menggunakan matematika.
Menurut Ibnu Haytham, pelangi merupapakan cahaya matahari dipantulkan awan sebelum mencapai mata. Teori yang dicetuskan Ibnu Haytham itu dinilainya mengandung kelemahan, karena tak melalui sebuah penelitian yang terlalu baik. Al-Farisi kemudian mengusulkan sebuah teori baru tentang pelangi. Menurut dia, pelangi terjadi karena sinar cahaya matahari dibiaskan dua kali dengan air yang turun. Satu atau lebih pemantulan cahaya terjadi di antara dua pembiasan.
“Dia (al-Farisi) membuktikan teori tentang pelanginya melalui eksperimen yang luas menggunakan sebuah lapisan transparan diisi dengan air dan sebuah kamera obscura,” kata J. J O’Connor, dan E.F. Robertson dalam karyanya bertajuk “Kamal al-Din Abu’l Hasan Muhammad Al-Farisi”. Al-Farisi pun diakui telah memperkenalkan dua tambahan sumber pembiasan, yaitu di permukaan antara bejana kaca dan air. Dalam karyanya, al-farisi juga menjelaskan tentang warna pelangi. Ia telah memberi inspirasi bagi masyarakat fisika modern tentang cara membentuk warna.
Para ahli sebelum al-Farisi berpendapat bahwai warna merupakan hasil sebuah pencampuran antara gelap dengan terang. Secara khusus, ia pun melakukan penelitian yang mendalam soal warna. Ia melakukan penelitian dengan lapisan/bola transparan. Hasilnya, al-Farisi mencetuskan bahwa warna-warna terjadi karena superimposition perbedaan bentuk gambar dalam latar belakang gelap.
“Jika gambar kemudian menembus di dalam, cahaya diperkuat lagi dan memproduksi sebuah warna kuning bercahaya. Selanjutnya mencampur gambar yang dikurangi dan kemudian sebuah warna gelap dan merah gelap sampai hilang ketika matahari berada di luar kerucut pembiasan sinar setelh satu kali pemantulan,” ungkap al-Farisi.
Penelitiannya itu juga berkaitan dengan dasar investigasi teori dalam dioptika yang disebut al-Kura al-muhriqa yang sebelumnya juga telah dilakukan oleh ahli optik Muslim terdahulu yakni, Ibnu Sahl (1000 M) dan Ibnu al-Haytham (1041 M). Dalam Kitab Tanqih al-Manazir , al-Farisi menggunakan bejana kaca besar yang bersih dalam bentuk sebuah bola, yang diisi dengan air, untuk mendapatkan percobaan model skala besar tentang tetes air hujan.
Dia kemudian menempatkan model ini dengan sebuah kamera obscura yang berfungsi untuk mengontrol lubang bidik kamera untuk pengenalan cahaya. Dia memproyeksikan cahaya ke dalam bentuk bola dan akhirnya dikurangi dengan beberapa percobaan dan penelitian yang mendetail untuk pemantulan dan pembiasan cahaya bahwa warna pelangi adalah sebuah fenomena dekomposisi cahaya.
Hasil penelitiannya itu hampir sama dengan Theodoric of Freiberg. Keduanya berpijak pada teori yang diwariskan Ibnu Haytham serta penelitian Descartes dan Newton dalam dioptika (contohnya, Newton melakukan sebuah penelitian serupa di Trinity College, dengan menggunakan sebuah prisma agak sedikit berbentuk bola).
Hal itu dijelaskan Nader El-Bizri, dalam beberapa karyanya seperti “Ibn al-Haytham”, in Medieval Science, Technology, and Medicine: An Encyclopedia , “Optics”, in Medieval Islamic Civilization: An Encyclopedia serta “Al-Farisi, Kamal al-Din,” in The Biographical Encyclopaedia of Islamic Philosoph serta buku “Ibn al-Haytham, al-Hasan”, in The Biographical Encyclopaedia of Islamic Philosophy.
Di kalangan sarjana modern terjadi perbedaan pendapat mengenai teori pelangi yang dicetuskan al-Farisi. Ada yang meyakini itu sebagai karya al-Farisi, selain itu ada juga yang menganggap teori itu dicetuskan gurunya al-Shirazi. “Penemuan tentang teori itu seharusnya kiranya berasal dari (al-Shirazi), kemudian diperluas [al-Farisi],” papar Boyer.
Al-Farisi telah memberikan kontribusi yang begitu besar bagi pengembangan ilmu optik. Pemikiran dan teori yang dicetuskannya begitu bermanfaat dalam menguak rahasia alam, salah satunya pelangi. she
Teori Angka Al-Farisi
Dalam bidang matematika, al-Farisi memberikan kontribusi yang penting mengenai angka yakni teori angka. Karyanya yang paling mengesankan dalam teori angka adalah amicable numbers (angka yang bersabat). Al-Farisi mencatat ketidakmungkinan memberikan sebuah cara pemecahan persamaan bilangan bulat.
Dalam Kitab Tadhkira al-ahbab fi bayan al-tahabb (Memorandum for friends on the proof of amicability) al-Farisi memberikan bukti baru mengikuti teori Thabit ibnu Qurra dalam angka bersahabat (amicable numbers) . Amicable number merupakan pasangan bilangan yang mempunyai sifat unik; dua bilangan yang masing-masingnya adalah jumlah dari pembagi sejati bilangan lainnya. Thabit, telah berhasil menciptakan rumus bilangan bersahabat sebagai berikut:
p = 3 x 2n11
q = 3 x 2n1
r = 9 x 22n11
Penjelasannya: n > 1 adalah sebuah bilangan bulat. p, qr, dan r adalah bilangan prima. Sedangkan, 2npq dan 2nr adalah sepasang bilangan bersahabat. Rumus ini menghasilkan pasangan bersahabat (220; 284), sama seperti pasangan (17296, 18416) dan pasangan (9363584; 9437056). Pasangan (6232; 6368) juga bersahabat, namun tak dihasilkan dari rumus di atas.
Teori bilangan bersahabat yang dikembangkan Thabit juga telah menarik perhatian matematikus sesudahnya. Selain Abu Mansur Tahir Al-Baghdadi (980 M-1037 M) dan al Madshritti (wafat 1007 M), al-Farisi juga tertarik mengembangkan teori itu. Dalam Tadhkira al-ahbab fi bayan al-tahabb al-Farisi juga memperkenalkan sebuah karya besar yakni pendekatan terbaru meliputi ide mengenai faktorisasi dan metode gabungan. Pada kenyataannya pendekatan al-Farisi menjadi dasar dalam faktorisasi khusus bilangan bulat ke dalam kuasa-kuasa angka utama.
Diakhir risalahnya, al-Farisi memberikan pasangan-pasangan angka bersahabat (amicable numbers) 220, 284 dan 17296, 18416, diperoleh dari peraturan Thabit dengan n = 2 dan n = 4 berturut-turut. Pasangan angka bersahabat 17296, 18416 diketahui pasangan angka bersahabat Euler.
Sehingga tak diragukan lagi bahwa al-Farisi mampu menemukan angka bersahabat sebelum Euler. Tak cuma matematikus Muslim yang tertarik dengan teori bilangan bersahabat. Ilmuwan yang diagungagungkan peradaban Barat, Rene Descartes (1596 M- 1650 M), juga mengembangkannya. Peradaban Barat kerap mengklaim teori bilangan bersahabat berasal dari Descartes. Selain itu, matematikus lain yang mengembangkan teori ini adalah C Rudolphus./she/taq[republika.co.id]
By Ahmad Y Samantho
Pada masa kebangkitan kembali dunia Islam di awal abad 21 kini, makin banyak tokoh aktifis pergerakan Islam yang memprihatinkan ketertinggalan bangsa-bangsa umat Islam dalam penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ketertinggalan dan kelemahan bangsa-bangsa Muslim tersebut terbukti semakin membelenggu kemerdekaan dan kemandirian bangsa-bangsa muslim baik secara ekonomi, politik maupun sosial-budaya, sejak era kolonialisme-imperialisme sampai ini era postkolonialisme kini. Dampak ikutan lainnya ialah ketika filsafat dan paradigma sains-teknologi moderen, yang dikembangkan dunia Barat dan Timur Non-Islam itu, ternyata telah membawa juga ekses negatif dalam pola pikir dan budaya, kerusakan di bidang lingkungan hidup dan tragedi kemanusian secara global.
Salah satu tokoh terkemuka sainstis dari dunia Islam di akhir abad 20 yang sangat memprihatinkan kondisi sains-teknologi umat Islam ini adalah Prof. Dr. M. Abdus Salam (wafat 21 November 1996 dalam usia 70 tahun). Menurutnya pengakuannya ada beberapa hal yang menyebabkannya begitu mencurahkan pikiran dan tenaganya untuk memajukan ilmu pengetahuan di dunia ke-tiga (yang mayoritas adalah bangsa-bangsa Muslim). Hal itu: pertama, karena ia adalah seorang muslim. Baginya persaudaraan sesama Muslim sangatlah penting, dan yang kedua karena sejak usianya yang masih muda ia sudah terlibat dalam kerangka kerja PBB.
Yang harus mendapat perhatian adalah jurang perbedaan antara Utara dan Selatan, atau negara maju dan negara berkembang. Kedua belah pihak memiliki masalah yang berbeda. Negara-negara Utara menghadapi ancaman perlombaan senjata dan perang nuklir, sedangkan Selatan menghadapi ancaman kelaparan dan kemiskinan yang akut. Masalah ini timbul, menurut Abdus Salam, karena satu pihak memiliki jalur ilmu pengetahuan sedangkan yang lainnya tidak.
Kunci permasalahannya adalah harus ada pemerataan ilmu pengetahuan secara adil. Bukan sekedar alih teknologi. Menurut satu-satunya Muslim pemenang hadiah Nobel bidang Fisika ini, teknologi hanyalah aplikasi pengetahuan ilmiah terhadap masalah-masalah manusia. Keliru kalau ada asumsi bahwa alih teknologi akan dapat menyelamatkan dunia ketiga. Dunia ketiga seharusnya lebih meminta alih atau merebut ilmu-ilmu pengetahuan dasar yang dapat menumbuhkan teknologi sesuai dengan kebutuhan bangsanya yang asli dan domestik.
Abdus Salam memberi contoh Jepang misalnya. Bertahun-tahun lamanya mereka menyerap ilmu pengetahuan dasar dari dunia Barat. Sekarang kita dapat melihat bagaimana Jepang mampu menghasilkan teknologi tinggi. Kecenderungan yang sama tengah berlangsung di Brazil, Korea Selatan, India, Argentina dan Cina.
Abdus Salam adalah fisikawan Muslim yang paling menonjol abad ini. Dia termasuk orang pertama yang mengubah pandangan parsialisme para fisikawan dalam melihat kelima gaya dasar yang berperan di alam ini, yaitu gaya listrik, gaya magnet, gaya gravitasi, gaya kuat yang menahan proton dan neutron tetap berdekatan dalam inti, serta gaya (arus) lemah yang antara lain bertanggung jawab terhadap lambatnya reaksi peluruhan inti radioaktif.
Selama berabad-abad kelima gaya itu dipahami secara terpisah menurut kerangka dalil dan postulatnya yang berbeda-beda. Adanya kesatuan dalam interaksi gaya-gaya dirumuskan oleh trio Abdus Salam, Seldon Lee Glashow dan Steven Weinberg dalam terorinya “Unifying the Forces.” Menurut teori yang diumumkan 1967 itu, arus lemah dalam inti atom diageni oleh tiga partikel yang masing-masing memancarkan arus atau gaya kuat. Dua belas tahun kemudian hukum itulah yang melahirkan Nobel Fisika 1979.
Eksistensi tiga partikel telah dibuktikan secara eksperimental tahun 1983 oleh tim riset yang dipimpin oleh Carlo Rubia, direktur CERN (Centre European de Recherche Nucleaire) di Jenewa, Swiss. Ternyata rintisan Abdus Salam itu kemudian mengilhami para fisikawan lain ketika mengembangkan teori-teori kosmologi mutakhir seperti Grand Unifying Theori (GUT) yang dicanangkan ilmuwan AS dan Theory Everything-nya Stephen Hawking. Melalui dua teori itulah para fisikawan dan kosmolog dunia kini berambisi untuk menjelaskan rahasia penciptaan alam semesta dalam satu teori tunggal yang utuh.
Abdus Salam lahir di Jhang, Pakistan pada 1926. Ia masuk Universitas Punjab pada usia 14 tahun dengan nilai yang tertinggi dari yang pernah ada. Mengambil gelar BA di St. Jhon College, Cambridge University. Dalam usianya yang baru 22 tahun dia meraih gelar Doktor fisika teoritis dengan predikat suma cum laude dari University of Cambridge, sekaligus meraih gelar Profesor fisika di Universitas Punjab, Lahore, Pakistan. Khusus untuk pelajaran matematika ia bahkan meraih nilai rata-rata 10 di St. Jhon College, Cambridge.
Karena kecerdasannya yang luar biasa Abdus Salam pernah dipanggil pulang oleh pemerintah Pakistan. Selama sebelas tahun sejak 1963 dia menjadi penasehat Presiden Ayub Khan khusus untuk menangani pengembangan Iptek di negaranya. Ia mengundurkan diri dari posisinya di pemerintahan ketika Zulfiqar Ali Butho naik menjadi PM Pakistan.
Sebagian besar usianya dihabiskan sebagai guru besar fisika di Imperial College of Science and Technology, London, dari 1957-1993. Sejak 1964 ia menjadi peneliti senior di International Center for Theoritical Physics (ICTP) di Trieste, Itali, sekaligus menjadi direkturnya selama 30 tahun.
Hingga akhir hayatnya, putra terbaik Umat Islam itu mendapat tak kurang 39 gelar doktor honoris causa. Antara lain dari Universitas Edinburg (1971), Universitas Trieste, Itali (1979), Universitas Islamabad (1979) dan universitas bergengsi di Peru, India, Polandia, Yordania, Venezuela, Turki, Filipina, China, Swedia, Belgia dan Rusia. Ia juga menjadi anggota dan anggota kehormatan Akademi Ilmu Pengetahuan Nasional 35 negara di Asia, Afrika dan Eropa dan Amerika.
Namun demikian, kerendahhatiannya tidak tertutupi oleh kehebatan prestasi ilmiahnya. Abdus Salam bahkan bersedia menjawab surat permintaan ijin kami (saya dan 3 orang teman) mahasiswa Unpad dan ITB Bandung yang pada tahun 1988 menyuratinya untuk minta ijin menterjemahkan beberapa makalahnya ke bahasa Indonesia dan menerbitkan di Indonesia. Ia bahkan membebaskan kami dari royalti atas terjemahan itu. Abdus Salam juga juga adalah duta Islam yang baik. Dalam pidato penganugrahan Nobel Fisika di Karolinska Institute, Swedia, Abdus Salam mengawalinya dengan ucapan basmallah. Di situ ia mengakui terus terang bahwa risetnya itu didasari oleh keyakinannya terhadap kalimah Tauhid. “Saya berharap Unifying The Forces dapat memberi landasan ilmiah terhadap keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Esa,” kata penulis 250 makalah ilmiah fisika partikel itu.
Dalam makalahnya Faith and Science, Salam menegaskan bahwa pemahaman sains masa kini sesungguhnya tidaklah bertabrakan dengan pemikiran metafisika dalam pemahaman agama. “Masalah itu setidaknya-tidaknya tidak akan terjadi dalam Islam.” Konsep kosmologi moderen yang sedang dikembangkan untuk memahami teori penciptaan alam semesta, menurutnya, kini dapat dipahami semakin dekat dengan konsep penciptaan yang diisyaratkan Al Qur’an.
“Saya Muslim karena saya percaya dengan pesan spiritual Al Qur’an, yang banyak membantu saya dalam memahami hukum alam, dengan contoh-contoh fenomena kosmologi, biologi dan kedokteran sebagai tanda-tanda Tuhan bagi seluruh manusia,” kata Abdus Salam dalam salah satu Sidang UNESCO di Paris, 1984. Dalam makalah The Holy Qur’an and Science” ia banyak banyak mengutip ayat al-Qur’an, tentang penciptaan langit dan bumi dan seisinya.
Menurutnya, ada tujuh ratus lima puluh lebih ayat Al Qur’an (hampir seperdelapan dari keseluruhan isi kitab Suci itu) mendorong kaum beriman untuk mempelajari dan merenungkan alam semesta, demi kemaslahatan umat dalam pencarian ilmu pengetahuan dan pemahaman ilmiah bagi kehidupan masyarakat. Mengutip pendapat Maurice Bucaile dalam bukunya “The Bible, The Qur’an and Science” : “Tidak ada satupun ayat al-Qur’an yang menggambarkan fenomena alam secara bertentangan dengan apa yang kemudian kita ketahui melalui penemuan-penemuan dalam sains.”
Dalam makalahnya “The Future of Sciences in Islam” Abdus Salam juga menegaskan bahwa sebenarnya sains moderen bukanlah semata-mata perkembangan langsung dari tradisi ilmiah Yunani, tetapi justru sains berkembang di Barat setelah mendapat sentuhan emprisisme dan metodologi ilmiah eksperimental, observasi dan cara pengukuran yang teliti dari kebudayaan Islam. Dengan mengutip pendapat Brifault, Abdus Salam menegaskan bahwa Bangsa Yunani memang telah mensitematisasikan, mengeneralisasikan dan menteorikan, namun cara-cara yang tekun dalam penelitian dan observasi yang mendalam serta upaya eksperimental adalah sesuatu watak yang asing bagi watak bangsa Yunani… Apa yang kini kita sebut sebagai sains adalah muncul sebagai suatu hasil dari metode baru eksperimental, observasi dan pengukuran yang diperkenalkan kepada Eropa oleh orang-orang Arab& Persia Muslim… Sains Moderen adalah merupakan sumbangan yang bersejarah dari peradaban Islam.
Untuk mengetahui bagaimana pendapat para pengamat luar mengenai ilmu pengetahuan di negeri-negeri Islam, Abdus Salam mengutip pendapat Francis Giles dalam jurnal ilmiah berpengaruh, Nature, terbitan Maret 1983: “Apa yang terjadi dengan ilmu pengetahuan kaum Muslimin? Di ujung seribu tahun yang lalu, kaum muslimin telah membuat kemajuan yang luar biasa dalam matematika dan kedokteran. Bahdag pada hari-hari kegemilangannya dan juga Spanyol Selatan (Cordova) telah membangun universitas-universitas di mana terdapat ribuan perkumpulan para ilmuwan, para sultan (penguasa) dan seniman. Bahkan ada semangat kebersamaan ketebukaan dan kebebasan yang mengijinkan orang-orang Yahudi, Kristen dan Muslim bekerja berdampingan. Sekarang hal itu hanyalah tinggal kenangan.”
Kritiknya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di negara-negara maju adalah bahwa mereka terlalu banyak menghambur-hamburkan sumber daya dan biaya riset untuk untuk kepentingan pertahanan militer dan perlombaan senjata pemusnah masal umat manusia, seperti bom nuklir. Padahal biaya untuk pertahanan (riset militer) tersebut telah menghisap segala sumber daya yang diperlukan untuk mengatasi masalah-masalah kemanusiaan lainnya. Negara maju menurut Salam, telah membuang-buang kekayaan dunia dan juga waktu dan energi para ilmuwannya yang sebenarnya dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas kehidupan umat manusia, dan mengentaskan kemiskinan di negara-negara dunia ketiga.
Padahal menurut Abdus Salam, jika perbedaan antara Utara dan Selatan tidak juga merapat, akan terjadi proses aliran masalah yang terjadi di negara-negara miskin akan menembus ke negara-negara kaya & maju. Negara maju tak dapat mengisolir diri dari masalah yang dihadapi negara miskin. Dan yang akan terjadi di dunia adalah apa yang terjadi di negara-negara dunia ketiga seakarang ini: Kerusuhan, pemerintahan militer yang menindas, kegelisahan, dan semua orang akhirnya berusaha untuk menindas yang lain. Abdus Salam telah menyarankan agar negara-negara industri mau menyediakan dirinya untuk mengangkat nasib negara-negara berkembang. Misalnya pendidikan tinggi dapat diambil dari AS dan Inggris, Jepang dan Jerman Barat menyediakan teknologinya. Inilah yang menjadi harapan Abdus Salam di masa mendatang.
Di lain pihak Abdus Salam juga melakukan otokritik terhadap umat Islam. Menurutnya, sains kreatif telah mulai mati dalam peradaban Muslim sejak sekitar tahun 1100 M dan menjadi semakin mundur sampai 250 tahun kemudian. Di antara peradaban besar di planet bumi, sains yang terlemah saat ini ada pada masyarakat Muslim.
Sebabnya adalah, menurut Salam, selain sebab eksternal serangan tentara Mongol, paling utama adalah karena sebab internal, yaitu: dominannya motivasi politik yang berlebihan, sektarianisme (fanatisme mazhab) dan konflik keagamaan, anggapan bahwa Islam menolak ilmu pengetahuan, meluasnya ortodoksi taqlid dan tertutupnya ijtihad dalam semua lapangan ilmu, termasuk sains, menguatnya semangat sufisme (negatif) yang anti keduniawian.
Mengutip Fracis Giles, Abdus Salam menjelaskan: “Mengapa sekarang ini, walaupun mereka berlimpah dengan kekayaan dari eksport minyak bumi, policy (keputusan politik) mengenai ilmu pengetahuan sangatlah tidak mendukung dan membuat nyaman para ilmuwan bekerja. Itulah yang terjadi di wilayah Timur Tengah, yang kini dikuasai para diktator. Sehingga ilmu pengetahuan tak dapat mengakar dan berkembang secara mempribumi. Tidaklah terlalu mengherankan kalau kemudioan terjadi brain drain (larinya para ilmuwan dalam negeri) ke negara-negara industri maju, sehingga semakin melemahkan kehidupan intelektual seluruh Timur Tengah.”
Saran Abdus Salam untuk Membangkitkan Sains Kaum Muslimin
Menyadari kelemahan dan ketertinggalan bangsa-bangsa umat Islam saat ini, Abdus Salam, dalam berbagai makalahnya di berbagai kesempatan, menyampaikan beberapa saran untuk membangkitkan kembali aktifitas sains di dunia Islam. Beberapa saran tersebut :
1. Umat Islam, di mana pun adanya wajib dan harus mendalami dan menguasai basic sciences (ilmu-ilmu pengetahuan dasar/ilmu murni) dan applied sciences (ilmu terapan) yang menjadi dasar bagi pengembangan teknologi yang orisinal sesuai kebutuhan dan kepentingan dalam negeri masing-masing. Dalam hal ini kita mesti memprioritaskan pendidikan sains (ilmu pengetahuan) sejak tingkat dasar-menengah pertama, kedua dan ketiga sampai universitas. Apa yang dilakukan oleh Jepang, China, Korea Selatan, sangat bagus untuk menjadi contoh bagi umat Islam.
2. Umat Islam dari berbagai bangsa harus bersatu padu untuk membuat semacam lembaga persemakmuran sains Islam Internasional dan masyarakat ilmiah dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang terbuka.
3. Alokasi anggaran (budget) negara-negara Muslim untuk riset dan pengembangan sains mesti diperbesar minimal 2 % dari APBN-nya.
4. Umat Islam dari berbagai negara (dalam kerangka OKI atau yang lainnya) sedapat mungkin membuat yayasan dan institusi ilmiah lainnya untuk mengumpulkan dan menggali sumber dana bagi penelitian dan pengembangan sains dan pendidikan sumberdaya manusianya (pelajar, mahasiswa, ilmuwan & cendikiawan muslim.) dan mengembangkan spesialisasi sains sesuai dengan daerah geografisnya.
5. Perlu memperluas kontak dan pertukaran pemikiran antara para mahasiswa dan masyarakat ilmiah dalam negeri dengan masyarakat ilmiah internasional melalui kunjungan dua arah, kerjasama bilateral dan multilateral, konferensi-konferensi dan simposium-simposium sains internasional. Keberadaan sains di negara-negara muslim masih lemah disebabkan masih terisolir dari pergaulan ilmiah internasional.
6. Yayasan sains Islam atau persemakmuran sains Islam perlu mensponsori penelitian-penelitan ilmu terapan yang revelan dengan problema pembangunan dan kebutuhan domestik masing-masing negara Islam, seperti teknologi perminyakan dan pertambangan, teknologi kesehatan dan pertanian, teknologi kelautan dan sumberdaya perairan, teknologi industri nasional.
Abdus Salam menjadi anggota kehormatan dari Akademi Ilmu Pengetahuan di AS dan Rusia. Namun hal itu tidak menghambatnya untuk berkiprah di sejumlah negara berkembang. Itu juga dilakukannya ketika ia bertugas di Komite Sains PBB dan 35 Organisasi profesi ilmiah. Maka tak anaeh, bila mantan Vice President dari International Union of Pure and Applied Physics (IUAP, 1972-1978) itu pun meraih tujuh penghargaan atas kontribusinya dalam mempromosikan perdamaian dan kerjasama iptek internasional. Antara lain Atoms for Peace Medal and Award dari Atoms for Peace Foundation (1968), First Edinburg Medal and Prize dari Skotlandia (1988), “Genoa” International Development of People Prize dari Italia (1988) dan Catalunya International Prize dari Spanyol (1990).
Begitulah, ketokohan Abdus Salam memang pantas diakui dunia, terutama diteladani oleh Umat Islam. Dr. Robert Walgate, wartawan senior dari New Scientist, pernah mengatakan, “Abdus Salam adalah fisikawan muslim yang cemerlang dalam mengemban misinya sebagai duta besar dari tiga dunia: Islam, fisika teoritis, dan kerja sama internasional.”
(Ahmad Y Samantho)
Kamal al-Din al-Farisi Ahli Fisika dari Persia
Wednesday, April 22, 2009, 0:53
Kisah, Tokoh
319 views
Add a comment
Kamal al-Din al-Farisi adalah seorang ahli fisika Muslim terkemuka dari Persia. Ia dilahirkan di kota Tabriz, Persia sekarang Iran- pada 1267 M dan meninggal pada 1319 M. Ilmuwan yang bernama lengkap Kamal al-Din Abu’l-Hasan Muhammad Al-Farisi itu kesohor dengan kontribusinya tentang optik serta teori angka.
Ia merupakan murid seorang astronom dan ahli matematika terkenal, Qutb al-Din al-Shirazi (1236-1311), yang juga murid Nasiruddin al-Tusi. Dalam bidang optik, al-Farisi berhasil merevisi teori pembiasan cahaya yang dicetuskan para ahli fisika sebelumnya. Gurunya, Shirazi memberi saran agar al-Farisi membedah teori pembiasan cahaya yang telah ditulis ahli fisika Muslim legendaris Ibnu al-Haytham (965-1039).
Secara mendalam, al-Farisi melakukan studi secara mendala mengenai risalah optik yang ditulis pendahuluannya itu. Sang guru juga menyarankannya agar melakukan revisi terhadap karya Ibnu Haytham. Buku hasil revisi terhadap pemikiran al-Hacen – nama panggilan Ibnu Haytham di Barat — tersebut kemudian jadi sebuah adikarya, yakni Kitab Tanqih al-Manazir (Revisi tentang Optik).
Kitab Tanqih merupakan pendapat dan pandangan al-Farisi terhadap buah karya Ibnu Haytham. Dalam pandangannya, tak semua teori optik yang diajukan Ibnu Haytham menemukan kebenaran. Guna menutupi kelemahan teori Ibnu Haytham, al-Farisi Al-Farisi lalu mengusulkan teori alternatif. Sehingga, kelemahan dalam teori optik Ibnu Haytham dapat disempurnakan.
Salah satu bagian yang paling penting dalam karya al-Farisi adalah komentarnya tentang teori pelangi. Ibnu Haytham sesungguhnya mengusulkan sebuah teori, tapi al-Farisi mempertimbangkan dua teori yakni teori Ibnu Haytham dan teori Ibnu Sina (Avicenna) sebelum mencetuskan teori baru. Teori yang diusulkan al-Farisi sungguh luar biasa. Ia mampu menjelaskan fenomena alam bernama pelangi menggunakan matematika.
Menurut Ibnu Haytham, pelangi merupapakan cahaya matahari dipantulkan awan sebelum mencapai mata. Teori yang dicetuskan Ibnu Haytham itu dinilainya mengandung kelemahan, karena tak melalui sebuah penelitian yang terlalu baik. Al-Farisi kemudian mengusulkan sebuah teori baru tentang pelangi. Menurut dia, pelangi terjadi karena sinar cahaya matahari dibiaskan dua kali dengan air yang turun. Satu atau lebih pemantulan cahaya terjadi di antara dua pembiasan.
“Dia (al-Farisi) membuktikan teori tentang pelanginya melalui eksperimen yang luas menggunakan sebuah lapisan transparan diisi dengan air dan sebuah kamera obscura,” kata J. J O’Connor, dan E.F. Robertson dalam karyanya bertajuk “Kamal al-Din Abu’l Hasan Muhammad Al-Farisi”. Al-Farisi pun diakui telah memperkenalkan dua tambahan sumber pembiasan, yaitu di permukaan antara bejana kaca dan air. Dalam karyanya, al-farisi juga menjelaskan tentang warna pelangi. Ia telah memberi inspirasi bagi masyarakat fisika modern tentang cara membentuk warna.
Para ahli sebelum al-Farisi berpendapat bahwai warna merupakan hasil sebuah pencampuran antara gelap dengan terang. Secara khusus, ia pun melakukan penelitian yang mendalam soal warna. Ia melakukan penelitian dengan lapisan/bola transparan. Hasilnya, al-Farisi mencetuskan bahwa warna-warna terjadi karena superimposition perbedaan bentuk gambar dalam latar belakang gelap.
“Jika gambar kemudian menembus di dalam, cahaya diperkuat lagi dan memproduksi sebuah warna kuning bercahaya. Selanjutnya mencampur gambar yang dikurangi dan kemudian sebuah warna gelap dan merah gelap sampai hilang ketika matahari berada di luar kerucut pembiasan sinar setelh satu kali pemantulan,” ungkap al-Farisi.
Penelitiannya itu juga berkaitan dengan dasar investigasi teori dalam dioptika yang disebut al-Kura al-muhriqa yang sebelumnya juga telah dilakukan oleh ahli optik Muslim terdahulu yakni, Ibnu Sahl (1000 M) dan Ibnu al-Haytham (1041 M). Dalam Kitab Tanqih al-Manazir , al-Farisi menggunakan bejana kaca besar yang bersih dalam bentuk sebuah bola, yang diisi dengan air, untuk mendapatkan percobaan model skala besar tentang tetes air hujan.
Dia kemudian menempatkan model ini dengan sebuah kamera obscura yang berfungsi untuk mengontrol lubang bidik kamera untuk pengenalan cahaya. Dia memproyeksikan cahaya ke dalam bentuk bola dan akhirnya dikurangi dengan beberapa percobaan dan penelitian yang mendetail untuk pemantulan dan pembiasan cahaya bahwa warna pelangi adalah sebuah fenomena dekomposisi cahaya.
Hasil penelitiannya itu hampir sama dengan Theodoric of Freiberg. Keduanya berpijak pada teori yang diwariskan Ibnu Haytham serta penelitian Descartes dan Newton dalam dioptika (contohnya, Newton melakukan sebuah penelitian serupa di Trinity College, dengan menggunakan sebuah prisma agak sedikit berbentuk bola).
Hal itu dijelaskan Nader El-Bizri, dalam beberapa karyanya seperti “Ibn al-Haytham”, in Medieval Science, Technology, and Medicine: An Encyclopedia , “Optics”, in Medieval Islamic Civilization: An Encyclopedia serta “Al-Farisi, Kamal al-Din,” in The Biographical Encyclopaedia of Islamic Philosoph serta buku “Ibn al-Haytham, al-Hasan”, in The Biographical Encyclopaedia of Islamic Philosophy.
Di kalangan sarjana modern terjadi perbedaan pendapat mengenai teori pelangi yang dicetuskan al-Farisi. Ada yang meyakini itu sebagai karya al-Farisi, selain itu ada juga yang menganggap teori itu dicetuskan gurunya al-Shirazi. “Penemuan tentang teori itu seharusnya kiranya berasal dari (al-Shirazi), kemudian diperluas [al-Farisi],” papar Boyer.
Al-Farisi telah memberikan kontribusi yang begitu besar bagi pengembangan ilmu optik. Pemikiran dan teori yang dicetuskannya begitu bermanfaat dalam menguak rahasia alam, salah satunya pelangi. she
Teori Angka Al-Farisi
Dalam bidang matematika, al-Farisi memberikan kontribusi yang penting mengenai angka yakni teori angka. Karyanya yang paling mengesankan dalam teori angka adalah amicable numbers (angka yang bersabat). Al-Farisi mencatat ketidakmungkinan memberikan sebuah cara pemecahan persamaan bilangan bulat.
Dalam Kitab Tadhkira al-ahbab fi bayan al-tahabb (Memorandum for friends on the proof of amicability) al-Farisi memberikan bukti baru mengikuti teori Thabit ibnu Qurra dalam angka bersahabat (amicable numbers) . Amicable number merupakan pasangan bilangan yang mempunyai sifat unik; dua bilangan yang masing-masingnya adalah jumlah dari pembagi sejati bilangan lainnya. Thabit, telah berhasil menciptakan rumus bilangan bersahabat sebagai berikut:
p = 3 x 2n11
q = 3 x 2n1
r = 9 x 22n11
Penjelasannya: n > 1 adalah sebuah bilangan bulat. p, qr, dan r adalah bilangan prima. Sedangkan, 2npq dan 2nr adalah sepasang bilangan bersahabat. Rumus ini menghasilkan pasangan bersahabat (220; 284), sama seperti pasangan (17296, 18416) dan pasangan (9363584; 9437056). Pasangan (6232; 6368) juga bersahabat, namun tak dihasilkan dari rumus di atas.
Teori bilangan bersahabat yang dikembangkan Thabit juga telah menarik perhatian matematikus sesudahnya. Selain Abu Mansur Tahir Al-Baghdadi (980 M-1037 M) dan al Madshritti (wafat 1007 M), al-Farisi juga tertarik mengembangkan teori itu. Dalam Tadhkira al-ahbab fi bayan al-tahabb al-Farisi juga memperkenalkan sebuah karya besar yakni pendekatan terbaru meliputi ide mengenai faktorisasi dan metode gabungan. Pada kenyataannya pendekatan al-Farisi menjadi dasar dalam faktorisasi khusus bilangan bulat ke dalam kuasa-kuasa angka utama.
Diakhir risalahnya, al-Farisi memberikan pasangan-pasangan angka bersahabat (amicable numbers) 220, 284 dan 17296, 18416, diperoleh dari peraturan Thabit dengan n = 2 dan n = 4 berturut-turut. Pasangan angka bersahabat 17296, 18416 diketahui pasangan angka bersahabat Euler.
Sehingga tak diragukan lagi bahwa al-Farisi mampu menemukan angka bersahabat sebelum Euler. Tak cuma matematikus Muslim yang tertarik dengan teori bilangan bersahabat. Ilmuwan yang diagungagungkan peradaban Barat, Rene Descartes (1596 M- 1650 M), juga mengembangkannya. Peradaban Barat kerap mengklaim teori bilangan bersahabat berasal dari Descartes. Selain itu, matematikus lain yang mengembangkan teori ini adalah C Rudolphus./she/taq[republika.co.id]
fisikawan muslim
Pemenang Hadiah Nobel bidang Fisika tahun 1979
By Ahmad Y Samantho
Pada masa kebangkitan kembali dunia Islam di awal abad 21 kini, makin banyak tokoh aktifis pergerakan Islam yang memprihatinkan ketertinggalan bangsa-bangsa umat Islam dalam penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ketertinggalan dan kelemahan bangsa-bangsa Muslim tersebut terbukti semakin membelenggu kemerdekaan dan kemandirian bangsa-bangsa muslim baik secara ekonomi, politik maupun sosial-budaya, sejak era kolonialisme-imperialisme sampai ini era postkolonialisme kini. Dampak ikutan lainnya ialah ketika filsafat dan paradigma sains-teknologi moderen, yang dikembangkan dunia Barat dan Timur Non-Islam itu, ternyata telah membawa juga ekses negatif dalam pola pikir dan budaya, kerusakan di bidang lingkungan hidup dan tragedi kemanusian secara global.
Salah satu tokoh terkemuka sainstis dari dunia Islam di akhir abad 20 yang sangat memprihatinkan kondisi sains-teknologi umat Islam ini adalah Prof. Dr. M. Abdus Salam (wafat 21 November 1996 dalam usia 70 tahun). Menurutnya pengakuannya ada beberapa hal yang menyebabkannya begitu mencurahkan pikiran dan tenaganya untuk memajukan ilmu pengetahuan di dunia ke-tiga (yang mayoritas adalah bangsa-bangsa Muslim). Hal itu: pertama, karena ia adalah seorang muslim. Baginya persaudaraan sesama Muslim sangatlah penting, dan yang kedua karena sejak usianya yang masih muda ia sudah terlibat dalam kerangka kerja PBB.
Yang harus mendapat perhatian adalah jurang perbedaan antara Utara dan Selatan, atau negara maju dan negara berkembang. Kedua belah pihak memiliki masalah yang berbeda. Negara-negara Utara menghadapi ancaman perlombaan senjata dan perang nuklir, sedangkan Selatan menghadapi ancaman kelaparan dan kemiskinan yang akut. Masalah ini timbul, menurut Abdus Salam, karena satu pihak memiliki jalur ilmu pengetahuan sedangkan yang lainnya tidak.
Kunci permasalahannya adalah harus ada pemerataan ilmu pengetahuan secara adil. Bukan sekedar alih teknologi. Menurut satu-satunya Muslim pemenang hadiah Nobel bidang Fisika ini, teknologi hanyalah aplikasi pengetahuan ilmiah terhadap masalah-masalah manusia. Keliru kalau ada asumsi bahwa alih teknologi akan dapat menyelamatkan dunia ketiga. Dunia ketiga seharusnya lebih meminta alih atau merebut ilmu-ilmu pengetahuan dasar yang dapat menumbuhkan teknologi sesuai dengan kebutuhan bangsanya yang asli dan domestik.
Abdus Salam memberi contoh Jepang misalnya. Bertahun-tahun lamanya mereka menyerap ilmu pengetahuan dasar dari dunia Barat. Sekarang kita dapat melihat bagaimana Jepang mampu menghasilkan teknologi tinggi. Kecenderungan yang sama tengah berlangsung di Brazil, Korea Selatan, India, Argentina dan Cina.
Abdus Salam adalah fisikawan Muslim yang paling menonjol abad ini. Dia termasuk orang pertama yang mengubah pandangan parsialisme para fisikawan dalam melihat kelima gaya dasar yang berperan di alam ini, yaitu gaya listrik, gaya magnet, gaya gravitasi, gaya kuat yang menahan proton dan neutron tetap berdekatan dalam inti, serta gaya (arus) lemah yang antara lain bertanggung jawab terhadap lambatnya reaksi peluruhan inti radioaktif.
Selama berabad-abad kelima gaya itu dipahami secara terpisah menurut kerangka dalil dan postulatnya yang berbeda-beda. Adanya kesatuan dalam interaksi gaya-gaya dirumuskan oleh trio Abdus Salam, Seldon Lee Glashow dan Steven Weinberg dalam terorinya “Unifying the Forces.” Menurut teori yang diumumkan 1967 itu, arus lemah dalam inti atom diageni oleh tiga partikel yang masing-masing memancarkan arus atau gaya kuat. Dua belas tahun kemudian hukum itulah yang melahirkan Nobel Fisika 1979.
Eksistensi tiga partikel telah dibuktikan secara eksperimental tahun 1983 oleh tim riset yang dipimpin oleh Carlo Rubia, direktur CERN (Centre European de Recherche Nucleaire) di Jenewa, Swiss. Ternyata rintisan Abdus Salam itu kemudian mengilhami para fisikawan lain ketika mengembangkan teori-teori kosmologi mutakhir seperti Grand Unifying Theori (GUT) yang dicanangkan ilmuwan AS dan Theory Everything-nya Stephen Hawking. Melalui dua teori itulah para fisikawan dan kosmolog dunia kini berambisi untuk menjelaskan rahasia penciptaan alam semesta dalam satu teori tunggal yang utuh.
Abdus Salam lahir di Jhang, Pakistan pada 1926. Ia masuk Universitas Punjab pada usia 14 tahun dengan nilai yang tertinggi dari yang pernah ada. Mengambil gelar BA di St. Jhon College, Cambridge University. Dalam usianya yang baru 22 tahun dia meraih gelar Doktor fisika teoritis dengan predikat suma cum laude dari University of Cambridge, sekaligus meraih gelar Profesor fisika di Universitas Punjab, Lahore, Pakistan. Khusus untuk pelajaran matematika ia bahkan meraih nilai rata-rata 10 di St. Jhon College, Cambridge.
Karena kecerdasannya yang luar biasa Abdus Salam pernah dipanggil pulang oleh pemerintah Pakistan. Selama sebelas tahun sejak 1963 dia menjadi penasehat Presiden Ayub Khan khusus untuk menangani pengembangan Iptek di negaranya. Ia mengundurkan diri dari posisinya di pemerintahan ketika Zulfiqar Ali Butho naik menjadi PM Pakistan.
Sebagian besar usianya dihabiskan sebagai guru besar fisika di Imperial College of Science and Technology, London, dari 1957-1993. Sejak 1964 ia menjadi peneliti senior di International Center for Theoritical Physics (ICTP) di Trieste, Itali, sekaligus menjadi direkturnya selama 30 tahun.
Hingga akhir hayatnya, putra terbaik Umat Islam itu mendapat tak kurang 39 gelar doktor honoris causa. Antara lain dari Universitas Edinburg (1971), Universitas Trieste, Itali (1979), Universitas Islamabad (1979) dan universitas bergengsi di Peru, India, Polandia, Yordania, Venezuela, Turki, Filipina, China, Swedia, Belgia dan Rusia. Ia juga menjadi anggota dan anggota kehormatan Akademi Ilmu Pengetahuan Nasional 35 negara di Asia, Afrika dan Eropa dan Amerika.
Namun demikian, kerendahhatiannya tidak tertutupi oleh kehebatan prestasi ilmiahnya. Abdus Salam bahkan bersedia menjawab surat permintaan ijin kami (saya dan 3 orang teman) mahasiswa Unpad dan ITB Bandung yang pada tahun 1988 menyuratinya untuk minta ijin menterjemahkan beberapa makalahnya ke bahasa Indonesia dan menerbitkan di Indonesia. Ia bahkan membebaskan kami dari royalti atas terjemahan itu. Abdus Salam juga juga adalah duta Islam yang baik. Dalam pidato penganugrahan Nobel Fisika di Karolinska Institute, Swedia, Abdus Salam mengawalinya dengan ucapan basmallah. Di situ ia mengakui terus terang bahwa risetnya itu didasari oleh keyakinannya terhadap kalimah Tauhid. “Saya berharap Unifying The Forces dapat memberi landasan ilmiah terhadap keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Esa,” kata penulis 250 makalah ilmiah fisika partikel itu.
Dalam makalahnya Faith and Science, Salam menegaskan bahwa pemahaman sains masa kini sesungguhnya tidaklah bertabrakan dengan pemikiran metafisika dalam pemahaman agama. “Masalah itu setidaknya-tidaknya tidak akan terjadi dalam Islam.” Konsep kosmologi moderen yang sedang dikembangkan untuk memahami teori penciptaan alam semesta, menurutnya, kini dapat dipahami semakin dekat dengan konsep penciptaan yang diisyaratkan Al Qur’an.
“Saya Muslim karena saya percaya dengan pesan spiritual Al Qur’an, yang banyak membantu saya dalam memahami hukum alam, dengan contoh-contoh fenomena kosmologi, biologi dan kedokteran sebagai tanda-tanda Tuhan bagi seluruh manusia,” kata Abdus Salam dalam salah satu Sidang UNESCO di Paris, 1984. Dalam makalah The Holy Qur’an and Science” ia banyak banyak mengutip ayat al-Qur’an, tentang penciptaan langit dan bumi dan seisinya.
Menurutnya, ada tujuh ratus lima puluh lebih ayat Al Qur’an (hampir seperdelapan dari keseluruhan isi kitab Suci itu) mendorong kaum beriman untuk mempelajari dan merenungkan alam semesta, demi kemaslahatan umat dalam pencarian ilmu pengetahuan dan pemahaman ilmiah bagi kehidupan masyarakat. Mengutip pendapat Maurice Bucaile dalam bukunya “The Bible, The Qur’an and Science” : “Tidak ada satupun ayat al-Qur’an yang menggambarkan fenomena alam secara bertentangan dengan apa yang kemudian kita ketahui melalui penemuan-penemuan dalam sains.”
Dalam makalahnya “The Future of Sciences in Islam” Abdus Salam juga menegaskan bahwa sebenarnya sains moderen bukanlah semata-mata perkembangan langsung dari tradisi ilmiah Yunani, tetapi justru sains berkembang di Barat setelah mendapat sentuhan emprisisme dan metodologi ilmiah eksperimental, observasi dan cara pengukuran yang teliti dari kebudayaan Islam. Dengan mengutip pendapat Brifault, Abdus Salam menegaskan bahwa Bangsa Yunani memang telah mensitematisasikan, mengeneralisasikan dan menteorikan, namun cara-cara yang tekun dalam penelitian dan observasi yang mendalam serta upaya eksperimental adalah sesuatu watak yang asing bagi watak bangsa Yunani… Apa yang kini kita sebut sebagai sains adalah muncul sebagai suatu hasil dari metode baru eksperimental, observasi dan pengukuran yang diperkenalkan kepada Eropa oleh orang-orang Arab& Persia Muslim… Sains Moderen adalah merupakan sumbangan yang bersejarah dari peradaban Islam.
Untuk mengetahui bagaimana pendapat para pengamat luar mengenai ilmu pengetahuan di negeri-negeri Islam, Abdus Salam mengutip pendapat Francis Giles dalam jurnal ilmiah berpengaruh, Nature, terbitan Maret 1983: “Apa yang terjadi dengan ilmu pengetahuan kaum Muslimin? Di ujung seribu tahun yang lalu, kaum muslimin telah membuat kemajuan yang luar biasa dalam matematika dan kedokteran. Bahdag pada hari-hari kegemilangannya dan juga Spanyol Selatan (Cordova) telah membangun universitas-universitas di mana terdapat ribuan perkumpulan para ilmuwan, para sultan (penguasa) dan seniman. Bahkan ada semangat kebersamaan ketebukaan dan kebebasan yang mengijinkan orang-orang Yahudi, Kristen dan Muslim bekerja berdampingan. Sekarang hal itu hanyalah tinggal kenangan.”
Kritiknya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di negara-negara maju adalah bahwa mereka terlalu banyak menghambur-hamburkan sumber daya dan biaya riset untuk untuk kepentingan pertahanan militer dan perlombaan senjata pemusnah masal umat manusia, seperti bom nuklir. Padahal biaya untuk pertahanan (riset militer) tersebut telah menghisap segala sumber daya yang diperlukan untuk mengatasi masalah-masalah kemanusiaan lainnya. Negara maju menurut Salam, telah membuang-buang kekayaan dunia dan juga waktu dan energi para ilmuwannya yang sebenarnya dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas kehidupan umat manusia, dan mengentaskan kemiskinan di negara-negara dunia ketiga.
Padahal menurut Abdus Salam, jika perbedaan antara Utara dan Selatan tidak juga merapat, akan terjadi proses aliran masalah yang terjadi di negara-negara miskin akan menembus ke negara-negara kaya & maju. Negara maju tak dapat mengisolir diri dari masalah yang dihadapi negara miskin. Dan yang akan terjadi di dunia adalah apa yang terjadi di negara-negara dunia ketiga seakarang ini: Kerusuhan, pemerintahan militer yang menindas, kegelisahan, dan semua orang akhirnya berusaha untuk menindas yang lain. Abdus Salam telah menyarankan agar negara-negara industri mau menyediakan dirinya untuk mengangkat nasib negara-negara berkembang. Misalnya pendidikan tinggi dapat diambil dari AS dan Inggris, Jepang dan Jerman Barat menyediakan teknologinya. Inilah yang menjadi harapan Abdus Salam di masa mendatang.
Di lain pihak Abdus Salam juga melakukan otokritik terhadap umat Islam. Menurutnya, sains kreatif telah mulai mati dalam peradaban Muslim sejak sekitar tahun 1100 M dan menjadi semakin mundur sampai 250 tahun kemudian. Di antara peradaban besar di planet bumi, sains yang terlemah saat ini ada pada masyarakat Muslim.
Sebabnya adalah, menurut Salam, selain sebab eksternal serangan tentara Mongol, paling utama adalah karena sebab internal, yaitu: dominannya motivasi politik yang berlebihan, sektarianisme (fanatisme mazhab) dan konflik keagamaan, anggapan bahwa Islam menolak ilmu pengetahuan, meluasnya ortodoksi taqlid dan tertutupnya ijtihad dalam semua lapangan ilmu, termasuk sains, menguatnya semangat sufisme (negatif) yang anti keduniawian.
Mengutip Fracis Giles, Abdus Salam menjelaskan: “Mengapa sekarang ini, walaupun mereka berlimpah dengan kekayaan dari eksport minyak bumi, policy (keputusan politik) mengenai ilmu pengetahuan sangatlah tidak mendukung dan membuat nyaman para ilmuwan bekerja. Itulah yang terjadi di wilayah Timur Tengah, yang kini dikuasai para diktator. Sehingga ilmu pengetahuan tak dapat mengakar dan berkembang secara mempribumi. Tidaklah terlalu mengherankan kalau kemudioan terjadi brain drain (larinya para ilmuwan dalam negeri) ke negara-negara industri maju, sehingga semakin melemahkan kehidupan intelektual seluruh Timur Tengah.”
Saran Abdus Salam untuk Membangkitkan Sains Kaum Muslimin
Menyadari kelemahan dan ketertinggalan bangsa-bangsa umat Islam saat ini, Abdus Salam, dalam berbagai makalahnya di berbagai kesempatan, menyampaikan beberapa saran untuk membangkitkan kembali aktifitas sains di dunia Islam. Beberapa saran tersebut :
1. Umat Islam, di mana pun adanya wajib dan harus mendalami dan menguasai basic sciences (ilmu-ilmu pengetahuan dasar/ilmu murni) dan applied sciences (ilmu terapan) yang menjadi dasar bagi pengembangan teknologi yang orisinal sesuai kebutuhan dan kepentingan dalam negeri masing-masing. Dalam hal ini kita mesti memprioritaskan pendidikan sains (ilmu pengetahuan) sejak tingkat dasar-menengah pertama, kedua dan ketiga sampai universitas. Apa yang dilakukan oleh Jepang, China, Korea Selatan, sangat bagus untuk menjadi contoh bagi umat Islam.
2. Umat Islam dari berbagai bangsa harus bersatu padu untuk membuat semacam lembaga persemakmuran sains Islam Internasional dan masyarakat ilmiah dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang terbuka.
3. Alokasi anggaran (budget) negara-negara Muslim untuk riset dan pengembangan sains mesti diperbesar minimal 2 % dari APBN-nya.
4. Umat Islam dari berbagai negara (dalam kerangka OKI atau yang lainnya) sedapat mungkin membuat yayasan dan institusi ilmiah lainnya untuk mengumpulkan dan menggali sumber dana bagi penelitian dan pengembangan sains dan pendidikan sumberdaya manusianya (pelajar, mahasiswa, ilmuwan & cendikiawan muslim.) dan mengembangkan spesialisasi sains sesuai dengan daerah geografisnya.
5. Perlu memperluas kontak dan pertukaran pemikiran antara para mahasiswa dan masyarakat ilmiah dalam negeri dengan masyarakat ilmiah internasional melalui kunjungan dua arah, kerjasama bilateral dan multilateral, konferensi-konferensi dan simposium-simposium sains internasional. Keberadaan sains di negara-negara muslim masih lemah disebabkan masih terisolir dari pergaulan ilmiah internasional.
6. Yayasan sains Islam atau persemakmuran sains Islam perlu mensponsori penelitian-penelitan ilmu terapan yang revelan dengan problema pembangunan dan kebutuhan domestik masing-masing negara Islam, seperti teknologi perminyakan dan pertambangan, teknologi kesehatan dan pertanian, teknologi kelautan dan sumberdaya perairan, teknologi industri nasional.
Abdus Salam menjadi anggota kehormatan dari Akademi Ilmu Pengetahuan di AS dan Rusia. Namun hal itu tidak menghambatnya untuk berkiprah di sejumlah negara berkembang. Itu juga dilakukannya ketika ia bertugas di Komite Sains PBB dan 35 Organisasi profesi ilmiah. Maka tak anaeh, bila mantan Vice President dari International Union of Pure and Applied Physics (IUAP, 1972-1978) itu pun meraih tujuh penghargaan atas kontribusinya dalam mempromosikan perdamaian dan kerjasama iptek internasional. Antara lain Atoms for Peace Medal and Award dari Atoms for Peace Foundation (1968), First Edinburg Medal and Prize dari Skotlandia (1988), “Genoa” International Development of People Prize dari Italia (1988) dan Catalunya International Prize dari Spanyol (1990).
Begitulah, ketokohan Abdus Salam memang pantas diakui dunia, terutama diteladani oleh Umat Islam. Dr. Robert Walgate, wartawan senior dari New Scientist, pernah mengatakan, “Abdus Salam adalah fisikawan muslim yang cemerlang dalam mengemban misinya sebagai duta besar dari tiga dunia: Islam, fisika teoritis, dan kerja sama internasional.”
(Ahmad Y Samantho)
Kamal al-Din al-Farisi Ahli Fisika dari Persia
Wednesday, April 22, 2009, 0:53
Kisah, Tokoh
319 views
Add a comment
Kamal al-Din al-Farisi adalah seorang ahli fisika Muslim terkemuka dari Persia. Ia dilahirkan di kota Tabriz, Persia sekarang Iran- pada 1267 M dan meninggal pada 1319 M. Ilmuwan yang bernama lengkap Kamal al-Din Abu’l-Hasan Muhammad Al-Farisi itu kesohor dengan kontribusinya tentang optik serta teori angka.
Ia merupakan murid seorang astronom dan ahli matematika terkenal, Qutb al-Din al-Shirazi (1236-1311), yang juga murid Nasiruddin al-Tusi. Dalam bidang optik, al-Farisi berhasil merevisi teori pembiasan cahaya yang dicetuskan para ahli fisika sebelumnya. Gurunya, Shirazi memberi saran agar al-Farisi membedah teori pembiasan cahaya yang telah ditulis ahli fisika Muslim legendaris Ibnu al-Haytham (965-1039).
Secara mendalam, al-Farisi melakukan studi secara mendala mengenai risalah optik yang ditulis pendahuluannya itu. Sang guru juga menyarankannya agar melakukan revisi terhadap karya Ibnu Haytham. Buku hasil revisi terhadap pemikiran al-Hacen – nama panggilan Ibnu Haytham di Barat — tersebut kemudian jadi sebuah adikarya, yakni Kitab Tanqih al-Manazir (Revisi tentang Optik).
Kitab Tanqih merupakan pendapat dan pandangan al-Farisi terhadap buah karya Ibnu Haytham. Dalam pandangannya, tak semua teori optik yang diajukan Ibnu Haytham menemukan kebenaran. Guna menutupi kelemahan teori Ibnu Haytham, al-Farisi Al-Farisi lalu mengusulkan teori alternatif. Sehingga, kelemahan dalam teori optik Ibnu Haytham dapat disempurnakan.
Salah satu bagian yang paling penting dalam karya al-Farisi adalah komentarnya tentang teori pelangi. Ibnu Haytham sesungguhnya mengusulkan sebuah teori, tapi al-Farisi mempertimbangkan dua teori yakni teori Ibnu Haytham dan teori Ibnu Sina (Avicenna) sebelum mencetuskan teori baru. Teori yang diusulkan al-Farisi sungguh luar biasa. Ia mampu menjelaskan fenomena alam bernama pelangi menggunakan matematika.
Menurut Ibnu Haytham, pelangi merupapakan cahaya matahari dipantulkan awan sebelum mencapai mata. Teori yang dicetuskan Ibnu Haytham itu dinilainya mengandung kelemahan, karena tak melalui sebuah penelitian yang terlalu baik. Al-Farisi kemudian mengusulkan sebuah teori baru tentang pelangi. Menurut dia, pelangi terjadi karena sinar cahaya matahari dibiaskan dua kali dengan air yang turun. Satu atau lebih pemantulan cahaya terjadi di antara dua pembiasan.
“Dia (al-Farisi) membuktikan teori tentang pelanginya melalui eksperimen yang luas menggunakan sebuah lapisan transparan diisi dengan air dan sebuah kamera obscura,” kata J. J O’Connor, dan E.F. Robertson dalam karyanya bertajuk “Kamal al-Din Abu’l Hasan Muhammad Al-Farisi”. Al-Farisi pun diakui telah memperkenalkan dua tambahan sumber pembiasan, yaitu di permukaan antara bejana kaca dan air. Dalam karyanya, al-farisi juga menjelaskan tentang warna pelangi. Ia telah memberi inspirasi bagi masyarakat fisika modern tentang cara membentuk warna.
Para ahli sebelum al-Farisi berpendapat bahwai warna merupakan hasil sebuah pencampuran antara gelap dengan terang. Secara khusus, ia pun melakukan penelitian yang mendalam soal warna. Ia melakukan penelitian dengan lapisan/bola transparan. Hasilnya, al-Farisi mencetuskan bahwa warna-warna terjadi karena superimposition perbedaan bentuk gambar dalam latar belakang gelap.
“Jika gambar kemudian menembus di dalam, cahaya diperkuat lagi dan memproduksi sebuah warna kuning bercahaya. Selanjutnya mencampur gambar yang dikurangi dan kemudian sebuah warna gelap dan merah gelap sampai hilang ketika matahari berada di luar kerucut pembiasan sinar setelh satu kali pemantulan,” ungkap al-Farisi.
Penelitiannya itu juga berkaitan dengan dasar investigasi teori dalam dioptika yang disebut al-Kura al-muhriqa yang sebelumnya juga telah dilakukan oleh ahli optik Muslim terdahulu yakni, Ibnu Sahl (1000 M) dan Ibnu al-Haytham (1041 M). Dalam Kitab Tanqih al-Manazir , al-Farisi menggunakan bejana kaca besar yang bersih dalam bentuk sebuah bola, yang diisi dengan air, untuk mendapatkan percobaan model skala besar tentang tetes air hujan.
Dia kemudian menempatkan model ini dengan sebuah kamera obscura yang berfungsi untuk mengontrol lubang bidik kamera untuk pengenalan cahaya. Dia memproyeksikan cahaya ke dalam bentuk bola dan akhirnya dikurangi dengan beberapa percobaan dan penelitian yang mendetail untuk pemantulan dan pembiasan cahaya bahwa warna pelangi adalah sebuah fenomena dekomposisi cahaya.
Hasil penelitiannya itu hampir sama dengan Theodoric of Freiberg. Keduanya berpijak pada teori yang diwariskan Ibnu Haytham serta penelitian Descartes dan Newton dalam dioptika (contohnya, Newton melakukan sebuah penelitian serupa di Trinity College, dengan menggunakan sebuah prisma agak sedikit berbentuk bola).
Hal itu dijelaskan Nader El-Bizri, dalam beberapa karyanya seperti “Ibn al-Haytham”, in Medieval Science, Technology, and Medicine: An Encyclopedia , “Optics”, in Medieval Islamic Civilization: An Encyclopedia serta “Al-Farisi, Kamal al-Din,” in The Biographical Encyclopaedia of Islamic Philosoph serta buku “Ibn al-Haytham, al-Hasan”, in The Biographical Encyclopaedia of Islamic Philosophy.
Di kalangan sarjana modern terjadi perbedaan pendapat mengenai teori pelangi yang dicetuskan al-Farisi. Ada yang meyakini itu sebagai karya al-Farisi, selain itu ada juga yang menganggap teori itu dicetuskan gurunya al-Shirazi. “Penemuan tentang teori itu seharusnya kiranya berasal dari (al-Shirazi), kemudian diperluas [al-Farisi],” papar Boyer.
Al-Farisi telah memberikan kontribusi yang begitu besar bagi pengembangan ilmu optik. Pemikiran dan teori yang dicetuskannya begitu bermanfaat dalam menguak rahasia alam, salah satunya pelangi. she
Teori Angka Al-Farisi
Dalam bidang matematika, al-Farisi memberikan kontribusi yang penting mengenai angka yakni teori angka. Karyanya yang paling mengesankan dalam teori angka adalah amicable numbers (angka yang bersabat). Al-Farisi mencatat ketidakmungkinan memberikan sebuah cara pemecahan persamaan bilangan bulat.
Dalam Kitab Tadhkira al-ahbab fi bayan al-tahabb (Memorandum for friends on the proof of amicability) al-Farisi memberikan bukti baru mengikuti teori Thabit ibnu Qurra dalam angka bersahabat (amicable numbers) . Amicable number merupakan pasangan bilangan yang mempunyai sifat unik; dua bilangan yang masing-masingnya adalah jumlah dari pembagi sejati bilangan lainnya. Thabit, telah berhasil menciptakan rumus bilangan bersahabat sebagai berikut:
p = 3 x 2n11
q = 3 x 2n1
r = 9 x 22n11
Penjelasannya: n > 1 adalah sebuah bilangan bulat. p, qr, dan r adalah bilangan prima. Sedangkan, 2npq dan 2nr adalah sepasang bilangan bersahabat. Rumus ini menghasilkan pasangan bersahabat (220; 284), sama seperti pasangan (17296, 18416) dan pasangan (9363584; 9437056). Pasangan (6232; 6368) juga bersahabat, namun tak dihasilkan dari rumus di atas.
Teori bilangan bersahabat yang dikembangkan Thabit juga telah menarik perhatian matematikus sesudahnya. Selain Abu Mansur Tahir Al-Baghdadi (980 M-1037 M) dan al Madshritti (wafat 1007 M), al-Farisi juga tertarik mengembangkan teori itu. Dalam Tadhkira al-ahbab fi bayan al-tahabb al-Farisi juga memperkenalkan sebuah karya besar yakni pendekatan terbaru meliputi ide mengenai faktorisasi dan metode gabungan. Pada kenyataannya pendekatan al-Farisi menjadi dasar dalam faktorisasi khusus bilangan bulat ke dalam kuasa-kuasa angka utama.
Diakhir risalahnya, al-Farisi memberikan pasangan-pasangan angka bersahabat (amicable numbers) 220, 284 dan 17296, 18416, diperoleh dari peraturan Thabit dengan n = 2 dan n = 4 berturut-turut. Pasangan angka bersahabat 17296, 18416 diketahui pasangan angka bersahabat Euler.
Sehingga tak diragukan lagi bahwa al-Farisi mampu menemukan angka bersahabat sebelum Euler. Tak cuma matematikus Muslim yang tertarik dengan teori bilangan bersahabat. Ilmuwan yang diagungagungkan peradaban Barat, Rene Descartes (1596 M- 1650 M), juga mengembangkannya. Peradaban Barat kerap mengklaim teori bilangan bersahabat berasal dari Descartes. Selain itu, matematikus lain yang mengembangkan teori ini adalah C Rudolphus./she/taq[republika.co.id]
By Ahmad Y Samantho
Pada masa kebangkitan kembali dunia Islam di awal abad 21 kini, makin banyak tokoh aktifis pergerakan Islam yang memprihatinkan ketertinggalan bangsa-bangsa umat Islam dalam penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ketertinggalan dan kelemahan bangsa-bangsa Muslim tersebut terbukti semakin membelenggu kemerdekaan dan kemandirian bangsa-bangsa muslim baik secara ekonomi, politik maupun sosial-budaya, sejak era kolonialisme-imperialisme sampai ini era postkolonialisme kini. Dampak ikutan lainnya ialah ketika filsafat dan paradigma sains-teknologi moderen, yang dikembangkan dunia Barat dan Timur Non-Islam itu, ternyata telah membawa juga ekses negatif dalam pola pikir dan budaya, kerusakan di bidang lingkungan hidup dan tragedi kemanusian secara global.
Salah satu tokoh terkemuka sainstis dari dunia Islam di akhir abad 20 yang sangat memprihatinkan kondisi sains-teknologi umat Islam ini adalah Prof. Dr. M. Abdus Salam (wafat 21 November 1996 dalam usia 70 tahun). Menurutnya pengakuannya ada beberapa hal yang menyebabkannya begitu mencurahkan pikiran dan tenaganya untuk memajukan ilmu pengetahuan di dunia ke-tiga (yang mayoritas adalah bangsa-bangsa Muslim). Hal itu: pertama, karena ia adalah seorang muslim. Baginya persaudaraan sesama Muslim sangatlah penting, dan yang kedua karena sejak usianya yang masih muda ia sudah terlibat dalam kerangka kerja PBB.
Yang harus mendapat perhatian adalah jurang perbedaan antara Utara dan Selatan, atau negara maju dan negara berkembang. Kedua belah pihak memiliki masalah yang berbeda. Negara-negara Utara menghadapi ancaman perlombaan senjata dan perang nuklir, sedangkan Selatan menghadapi ancaman kelaparan dan kemiskinan yang akut. Masalah ini timbul, menurut Abdus Salam, karena satu pihak memiliki jalur ilmu pengetahuan sedangkan yang lainnya tidak.
Kunci permasalahannya adalah harus ada pemerataan ilmu pengetahuan secara adil. Bukan sekedar alih teknologi. Menurut satu-satunya Muslim pemenang hadiah Nobel bidang Fisika ini, teknologi hanyalah aplikasi pengetahuan ilmiah terhadap masalah-masalah manusia. Keliru kalau ada asumsi bahwa alih teknologi akan dapat menyelamatkan dunia ketiga. Dunia ketiga seharusnya lebih meminta alih atau merebut ilmu-ilmu pengetahuan dasar yang dapat menumbuhkan teknologi sesuai dengan kebutuhan bangsanya yang asli dan domestik.
Abdus Salam memberi contoh Jepang misalnya. Bertahun-tahun lamanya mereka menyerap ilmu pengetahuan dasar dari dunia Barat. Sekarang kita dapat melihat bagaimana Jepang mampu menghasilkan teknologi tinggi. Kecenderungan yang sama tengah berlangsung di Brazil, Korea Selatan, India, Argentina dan Cina.
Abdus Salam adalah fisikawan Muslim yang paling menonjol abad ini. Dia termasuk orang pertama yang mengubah pandangan parsialisme para fisikawan dalam melihat kelima gaya dasar yang berperan di alam ini, yaitu gaya listrik, gaya magnet, gaya gravitasi, gaya kuat yang menahan proton dan neutron tetap berdekatan dalam inti, serta gaya (arus) lemah yang antara lain bertanggung jawab terhadap lambatnya reaksi peluruhan inti radioaktif.
Selama berabad-abad kelima gaya itu dipahami secara terpisah menurut kerangka dalil dan postulatnya yang berbeda-beda. Adanya kesatuan dalam interaksi gaya-gaya dirumuskan oleh trio Abdus Salam, Seldon Lee Glashow dan Steven Weinberg dalam terorinya “Unifying the Forces.” Menurut teori yang diumumkan 1967 itu, arus lemah dalam inti atom diageni oleh tiga partikel yang masing-masing memancarkan arus atau gaya kuat. Dua belas tahun kemudian hukum itulah yang melahirkan Nobel Fisika 1979.
Eksistensi tiga partikel telah dibuktikan secara eksperimental tahun 1983 oleh tim riset yang dipimpin oleh Carlo Rubia, direktur CERN (Centre European de Recherche Nucleaire) di Jenewa, Swiss. Ternyata rintisan Abdus Salam itu kemudian mengilhami para fisikawan lain ketika mengembangkan teori-teori kosmologi mutakhir seperti Grand Unifying Theori (GUT) yang dicanangkan ilmuwan AS dan Theory Everything-nya Stephen Hawking. Melalui dua teori itulah para fisikawan dan kosmolog dunia kini berambisi untuk menjelaskan rahasia penciptaan alam semesta dalam satu teori tunggal yang utuh.
Abdus Salam lahir di Jhang, Pakistan pada 1926. Ia masuk Universitas Punjab pada usia 14 tahun dengan nilai yang tertinggi dari yang pernah ada. Mengambil gelar BA di St. Jhon College, Cambridge University. Dalam usianya yang baru 22 tahun dia meraih gelar Doktor fisika teoritis dengan predikat suma cum laude dari University of Cambridge, sekaligus meraih gelar Profesor fisika di Universitas Punjab, Lahore, Pakistan. Khusus untuk pelajaran matematika ia bahkan meraih nilai rata-rata 10 di St. Jhon College, Cambridge.
Karena kecerdasannya yang luar biasa Abdus Salam pernah dipanggil pulang oleh pemerintah Pakistan. Selama sebelas tahun sejak 1963 dia menjadi penasehat Presiden Ayub Khan khusus untuk menangani pengembangan Iptek di negaranya. Ia mengundurkan diri dari posisinya di pemerintahan ketika Zulfiqar Ali Butho naik menjadi PM Pakistan.
Sebagian besar usianya dihabiskan sebagai guru besar fisika di Imperial College of Science and Technology, London, dari 1957-1993. Sejak 1964 ia menjadi peneliti senior di International Center for Theoritical Physics (ICTP) di Trieste, Itali, sekaligus menjadi direkturnya selama 30 tahun.
Hingga akhir hayatnya, putra terbaik Umat Islam itu mendapat tak kurang 39 gelar doktor honoris causa. Antara lain dari Universitas Edinburg (1971), Universitas Trieste, Itali (1979), Universitas Islamabad (1979) dan universitas bergengsi di Peru, India, Polandia, Yordania, Venezuela, Turki, Filipina, China, Swedia, Belgia dan Rusia. Ia juga menjadi anggota dan anggota kehormatan Akademi Ilmu Pengetahuan Nasional 35 negara di Asia, Afrika dan Eropa dan Amerika.
Namun demikian, kerendahhatiannya tidak tertutupi oleh kehebatan prestasi ilmiahnya. Abdus Salam bahkan bersedia menjawab surat permintaan ijin kami (saya dan 3 orang teman) mahasiswa Unpad dan ITB Bandung yang pada tahun 1988 menyuratinya untuk minta ijin menterjemahkan beberapa makalahnya ke bahasa Indonesia dan menerbitkan di Indonesia. Ia bahkan membebaskan kami dari royalti atas terjemahan itu. Abdus Salam juga juga adalah duta Islam yang baik. Dalam pidato penganugrahan Nobel Fisika di Karolinska Institute, Swedia, Abdus Salam mengawalinya dengan ucapan basmallah. Di situ ia mengakui terus terang bahwa risetnya itu didasari oleh keyakinannya terhadap kalimah Tauhid. “Saya berharap Unifying The Forces dapat memberi landasan ilmiah terhadap keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Esa,” kata penulis 250 makalah ilmiah fisika partikel itu.
Dalam makalahnya Faith and Science, Salam menegaskan bahwa pemahaman sains masa kini sesungguhnya tidaklah bertabrakan dengan pemikiran metafisika dalam pemahaman agama. “Masalah itu setidaknya-tidaknya tidak akan terjadi dalam Islam.” Konsep kosmologi moderen yang sedang dikembangkan untuk memahami teori penciptaan alam semesta, menurutnya, kini dapat dipahami semakin dekat dengan konsep penciptaan yang diisyaratkan Al Qur’an.
“Saya Muslim karena saya percaya dengan pesan spiritual Al Qur’an, yang banyak membantu saya dalam memahami hukum alam, dengan contoh-contoh fenomena kosmologi, biologi dan kedokteran sebagai tanda-tanda Tuhan bagi seluruh manusia,” kata Abdus Salam dalam salah satu Sidang UNESCO di Paris, 1984. Dalam makalah The Holy Qur’an and Science” ia banyak banyak mengutip ayat al-Qur’an, tentang penciptaan langit dan bumi dan seisinya.
Menurutnya, ada tujuh ratus lima puluh lebih ayat Al Qur’an (hampir seperdelapan dari keseluruhan isi kitab Suci itu) mendorong kaum beriman untuk mempelajari dan merenungkan alam semesta, demi kemaslahatan umat dalam pencarian ilmu pengetahuan dan pemahaman ilmiah bagi kehidupan masyarakat. Mengutip pendapat Maurice Bucaile dalam bukunya “The Bible, The Qur’an and Science” : “Tidak ada satupun ayat al-Qur’an yang menggambarkan fenomena alam secara bertentangan dengan apa yang kemudian kita ketahui melalui penemuan-penemuan dalam sains.”
Dalam makalahnya “The Future of Sciences in Islam” Abdus Salam juga menegaskan bahwa sebenarnya sains moderen bukanlah semata-mata perkembangan langsung dari tradisi ilmiah Yunani, tetapi justru sains berkembang di Barat setelah mendapat sentuhan emprisisme dan metodologi ilmiah eksperimental, observasi dan cara pengukuran yang teliti dari kebudayaan Islam. Dengan mengutip pendapat Brifault, Abdus Salam menegaskan bahwa Bangsa Yunani memang telah mensitematisasikan, mengeneralisasikan dan menteorikan, namun cara-cara yang tekun dalam penelitian dan observasi yang mendalam serta upaya eksperimental adalah sesuatu watak yang asing bagi watak bangsa Yunani… Apa yang kini kita sebut sebagai sains adalah muncul sebagai suatu hasil dari metode baru eksperimental, observasi dan pengukuran yang diperkenalkan kepada Eropa oleh orang-orang Arab& Persia Muslim… Sains Moderen adalah merupakan sumbangan yang bersejarah dari peradaban Islam.
Untuk mengetahui bagaimana pendapat para pengamat luar mengenai ilmu pengetahuan di negeri-negeri Islam, Abdus Salam mengutip pendapat Francis Giles dalam jurnal ilmiah berpengaruh, Nature, terbitan Maret 1983: “Apa yang terjadi dengan ilmu pengetahuan kaum Muslimin? Di ujung seribu tahun yang lalu, kaum muslimin telah membuat kemajuan yang luar biasa dalam matematika dan kedokteran. Bahdag pada hari-hari kegemilangannya dan juga Spanyol Selatan (Cordova) telah membangun universitas-universitas di mana terdapat ribuan perkumpulan para ilmuwan, para sultan (penguasa) dan seniman. Bahkan ada semangat kebersamaan ketebukaan dan kebebasan yang mengijinkan orang-orang Yahudi, Kristen dan Muslim bekerja berdampingan. Sekarang hal itu hanyalah tinggal kenangan.”
Kritiknya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di negara-negara maju adalah bahwa mereka terlalu banyak menghambur-hamburkan sumber daya dan biaya riset untuk untuk kepentingan pertahanan militer dan perlombaan senjata pemusnah masal umat manusia, seperti bom nuklir. Padahal biaya untuk pertahanan (riset militer) tersebut telah menghisap segala sumber daya yang diperlukan untuk mengatasi masalah-masalah kemanusiaan lainnya. Negara maju menurut Salam, telah membuang-buang kekayaan dunia dan juga waktu dan energi para ilmuwannya yang sebenarnya dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas kehidupan umat manusia, dan mengentaskan kemiskinan di negara-negara dunia ketiga.
Padahal menurut Abdus Salam, jika perbedaan antara Utara dan Selatan tidak juga merapat, akan terjadi proses aliran masalah yang terjadi di negara-negara miskin akan menembus ke negara-negara kaya & maju. Negara maju tak dapat mengisolir diri dari masalah yang dihadapi negara miskin. Dan yang akan terjadi di dunia adalah apa yang terjadi di negara-negara dunia ketiga seakarang ini: Kerusuhan, pemerintahan militer yang menindas, kegelisahan, dan semua orang akhirnya berusaha untuk menindas yang lain. Abdus Salam telah menyarankan agar negara-negara industri mau menyediakan dirinya untuk mengangkat nasib negara-negara berkembang. Misalnya pendidikan tinggi dapat diambil dari AS dan Inggris, Jepang dan Jerman Barat menyediakan teknologinya. Inilah yang menjadi harapan Abdus Salam di masa mendatang.
Di lain pihak Abdus Salam juga melakukan otokritik terhadap umat Islam. Menurutnya, sains kreatif telah mulai mati dalam peradaban Muslim sejak sekitar tahun 1100 M dan menjadi semakin mundur sampai 250 tahun kemudian. Di antara peradaban besar di planet bumi, sains yang terlemah saat ini ada pada masyarakat Muslim.
Sebabnya adalah, menurut Salam, selain sebab eksternal serangan tentara Mongol, paling utama adalah karena sebab internal, yaitu: dominannya motivasi politik yang berlebihan, sektarianisme (fanatisme mazhab) dan konflik keagamaan, anggapan bahwa Islam menolak ilmu pengetahuan, meluasnya ortodoksi taqlid dan tertutupnya ijtihad dalam semua lapangan ilmu, termasuk sains, menguatnya semangat sufisme (negatif) yang anti keduniawian.
Mengutip Fracis Giles, Abdus Salam menjelaskan: “Mengapa sekarang ini, walaupun mereka berlimpah dengan kekayaan dari eksport minyak bumi, policy (keputusan politik) mengenai ilmu pengetahuan sangatlah tidak mendukung dan membuat nyaman para ilmuwan bekerja. Itulah yang terjadi di wilayah Timur Tengah, yang kini dikuasai para diktator. Sehingga ilmu pengetahuan tak dapat mengakar dan berkembang secara mempribumi. Tidaklah terlalu mengherankan kalau kemudioan terjadi brain drain (larinya para ilmuwan dalam negeri) ke negara-negara industri maju, sehingga semakin melemahkan kehidupan intelektual seluruh Timur Tengah.”
Saran Abdus Salam untuk Membangkitkan Sains Kaum Muslimin
Menyadari kelemahan dan ketertinggalan bangsa-bangsa umat Islam saat ini, Abdus Salam, dalam berbagai makalahnya di berbagai kesempatan, menyampaikan beberapa saran untuk membangkitkan kembali aktifitas sains di dunia Islam. Beberapa saran tersebut :
1. Umat Islam, di mana pun adanya wajib dan harus mendalami dan menguasai basic sciences (ilmu-ilmu pengetahuan dasar/ilmu murni) dan applied sciences (ilmu terapan) yang menjadi dasar bagi pengembangan teknologi yang orisinal sesuai kebutuhan dan kepentingan dalam negeri masing-masing. Dalam hal ini kita mesti memprioritaskan pendidikan sains (ilmu pengetahuan) sejak tingkat dasar-menengah pertama, kedua dan ketiga sampai universitas. Apa yang dilakukan oleh Jepang, China, Korea Selatan, sangat bagus untuk menjadi contoh bagi umat Islam.
2. Umat Islam dari berbagai bangsa harus bersatu padu untuk membuat semacam lembaga persemakmuran sains Islam Internasional dan masyarakat ilmiah dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang terbuka.
3. Alokasi anggaran (budget) negara-negara Muslim untuk riset dan pengembangan sains mesti diperbesar minimal 2 % dari APBN-nya.
4. Umat Islam dari berbagai negara (dalam kerangka OKI atau yang lainnya) sedapat mungkin membuat yayasan dan institusi ilmiah lainnya untuk mengumpulkan dan menggali sumber dana bagi penelitian dan pengembangan sains dan pendidikan sumberdaya manusianya (pelajar, mahasiswa, ilmuwan & cendikiawan muslim.) dan mengembangkan spesialisasi sains sesuai dengan daerah geografisnya.
5. Perlu memperluas kontak dan pertukaran pemikiran antara para mahasiswa dan masyarakat ilmiah dalam negeri dengan masyarakat ilmiah internasional melalui kunjungan dua arah, kerjasama bilateral dan multilateral, konferensi-konferensi dan simposium-simposium sains internasional. Keberadaan sains di negara-negara muslim masih lemah disebabkan masih terisolir dari pergaulan ilmiah internasional.
6. Yayasan sains Islam atau persemakmuran sains Islam perlu mensponsori penelitian-penelitan ilmu terapan yang revelan dengan problema pembangunan dan kebutuhan domestik masing-masing negara Islam, seperti teknologi perminyakan dan pertambangan, teknologi kesehatan dan pertanian, teknologi kelautan dan sumberdaya perairan, teknologi industri nasional.
Abdus Salam menjadi anggota kehormatan dari Akademi Ilmu Pengetahuan di AS dan Rusia. Namun hal itu tidak menghambatnya untuk berkiprah di sejumlah negara berkembang. Itu juga dilakukannya ketika ia bertugas di Komite Sains PBB dan 35 Organisasi profesi ilmiah. Maka tak anaeh, bila mantan Vice President dari International Union of Pure and Applied Physics (IUAP, 1972-1978) itu pun meraih tujuh penghargaan atas kontribusinya dalam mempromosikan perdamaian dan kerjasama iptek internasional. Antara lain Atoms for Peace Medal and Award dari Atoms for Peace Foundation (1968), First Edinburg Medal and Prize dari Skotlandia (1988), “Genoa” International Development of People Prize dari Italia (1988) dan Catalunya International Prize dari Spanyol (1990).
Begitulah, ketokohan Abdus Salam memang pantas diakui dunia, terutama diteladani oleh Umat Islam. Dr. Robert Walgate, wartawan senior dari New Scientist, pernah mengatakan, “Abdus Salam adalah fisikawan muslim yang cemerlang dalam mengemban misinya sebagai duta besar dari tiga dunia: Islam, fisika teoritis, dan kerja sama internasional.”
(Ahmad Y Samantho)
Kamal al-Din al-Farisi Ahli Fisika dari Persia
Wednesday, April 22, 2009, 0:53
Kisah, Tokoh
319 views
Add a comment
Kamal al-Din al-Farisi adalah seorang ahli fisika Muslim terkemuka dari Persia. Ia dilahirkan di kota Tabriz, Persia sekarang Iran- pada 1267 M dan meninggal pada 1319 M. Ilmuwan yang bernama lengkap Kamal al-Din Abu’l-Hasan Muhammad Al-Farisi itu kesohor dengan kontribusinya tentang optik serta teori angka.
Ia merupakan murid seorang astronom dan ahli matematika terkenal, Qutb al-Din al-Shirazi (1236-1311), yang juga murid Nasiruddin al-Tusi. Dalam bidang optik, al-Farisi berhasil merevisi teori pembiasan cahaya yang dicetuskan para ahli fisika sebelumnya. Gurunya, Shirazi memberi saran agar al-Farisi membedah teori pembiasan cahaya yang telah ditulis ahli fisika Muslim legendaris Ibnu al-Haytham (965-1039).
Secara mendalam, al-Farisi melakukan studi secara mendala mengenai risalah optik yang ditulis pendahuluannya itu. Sang guru juga menyarankannya agar melakukan revisi terhadap karya Ibnu Haytham. Buku hasil revisi terhadap pemikiran al-Hacen – nama panggilan Ibnu Haytham di Barat — tersebut kemudian jadi sebuah adikarya, yakni Kitab Tanqih al-Manazir (Revisi tentang Optik).
Kitab Tanqih merupakan pendapat dan pandangan al-Farisi terhadap buah karya Ibnu Haytham. Dalam pandangannya, tak semua teori optik yang diajukan Ibnu Haytham menemukan kebenaran. Guna menutupi kelemahan teori Ibnu Haytham, al-Farisi Al-Farisi lalu mengusulkan teori alternatif. Sehingga, kelemahan dalam teori optik Ibnu Haytham dapat disempurnakan.
Salah satu bagian yang paling penting dalam karya al-Farisi adalah komentarnya tentang teori pelangi. Ibnu Haytham sesungguhnya mengusulkan sebuah teori, tapi al-Farisi mempertimbangkan dua teori yakni teori Ibnu Haytham dan teori Ibnu Sina (Avicenna) sebelum mencetuskan teori baru. Teori yang diusulkan al-Farisi sungguh luar biasa. Ia mampu menjelaskan fenomena alam bernama pelangi menggunakan matematika.
Menurut Ibnu Haytham, pelangi merupapakan cahaya matahari dipantulkan awan sebelum mencapai mata. Teori yang dicetuskan Ibnu Haytham itu dinilainya mengandung kelemahan, karena tak melalui sebuah penelitian yang terlalu baik. Al-Farisi kemudian mengusulkan sebuah teori baru tentang pelangi. Menurut dia, pelangi terjadi karena sinar cahaya matahari dibiaskan dua kali dengan air yang turun. Satu atau lebih pemantulan cahaya terjadi di antara dua pembiasan.
“Dia (al-Farisi) membuktikan teori tentang pelanginya melalui eksperimen yang luas menggunakan sebuah lapisan transparan diisi dengan air dan sebuah kamera obscura,” kata J. J O’Connor, dan E.F. Robertson dalam karyanya bertajuk “Kamal al-Din Abu’l Hasan Muhammad Al-Farisi”. Al-Farisi pun diakui telah memperkenalkan dua tambahan sumber pembiasan, yaitu di permukaan antara bejana kaca dan air. Dalam karyanya, al-farisi juga menjelaskan tentang warna pelangi. Ia telah memberi inspirasi bagi masyarakat fisika modern tentang cara membentuk warna.
Para ahli sebelum al-Farisi berpendapat bahwai warna merupakan hasil sebuah pencampuran antara gelap dengan terang. Secara khusus, ia pun melakukan penelitian yang mendalam soal warna. Ia melakukan penelitian dengan lapisan/bola transparan. Hasilnya, al-Farisi mencetuskan bahwa warna-warna terjadi karena superimposition perbedaan bentuk gambar dalam latar belakang gelap.
“Jika gambar kemudian menembus di dalam, cahaya diperkuat lagi dan memproduksi sebuah warna kuning bercahaya. Selanjutnya mencampur gambar yang dikurangi dan kemudian sebuah warna gelap dan merah gelap sampai hilang ketika matahari berada di luar kerucut pembiasan sinar setelh satu kali pemantulan,” ungkap al-Farisi.
Penelitiannya itu juga berkaitan dengan dasar investigasi teori dalam dioptika yang disebut al-Kura al-muhriqa yang sebelumnya juga telah dilakukan oleh ahli optik Muslim terdahulu yakni, Ibnu Sahl (1000 M) dan Ibnu al-Haytham (1041 M). Dalam Kitab Tanqih al-Manazir , al-Farisi menggunakan bejana kaca besar yang bersih dalam bentuk sebuah bola, yang diisi dengan air, untuk mendapatkan percobaan model skala besar tentang tetes air hujan.
Dia kemudian menempatkan model ini dengan sebuah kamera obscura yang berfungsi untuk mengontrol lubang bidik kamera untuk pengenalan cahaya. Dia memproyeksikan cahaya ke dalam bentuk bola dan akhirnya dikurangi dengan beberapa percobaan dan penelitian yang mendetail untuk pemantulan dan pembiasan cahaya bahwa warna pelangi adalah sebuah fenomena dekomposisi cahaya.
Hasil penelitiannya itu hampir sama dengan Theodoric of Freiberg. Keduanya berpijak pada teori yang diwariskan Ibnu Haytham serta penelitian Descartes dan Newton dalam dioptika (contohnya, Newton melakukan sebuah penelitian serupa di Trinity College, dengan menggunakan sebuah prisma agak sedikit berbentuk bola).
Hal itu dijelaskan Nader El-Bizri, dalam beberapa karyanya seperti “Ibn al-Haytham”, in Medieval Science, Technology, and Medicine: An Encyclopedia , “Optics”, in Medieval Islamic Civilization: An Encyclopedia serta “Al-Farisi, Kamal al-Din,” in The Biographical Encyclopaedia of Islamic Philosoph serta buku “Ibn al-Haytham, al-Hasan”, in The Biographical Encyclopaedia of Islamic Philosophy.
Di kalangan sarjana modern terjadi perbedaan pendapat mengenai teori pelangi yang dicetuskan al-Farisi. Ada yang meyakini itu sebagai karya al-Farisi, selain itu ada juga yang menganggap teori itu dicetuskan gurunya al-Shirazi. “Penemuan tentang teori itu seharusnya kiranya berasal dari (al-Shirazi), kemudian diperluas [al-Farisi],” papar Boyer.
Al-Farisi telah memberikan kontribusi yang begitu besar bagi pengembangan ilmu optik. Pemikiran dan teori yang dicetuskannya begitu bermanfaat dalam menguak rahasia alam, salah satunya pelangi. she
Teori Angka Al-Farisi
Dalam bidang matematika, al-Farisi memberikan kontribusi yang penting mengenai angka yakni teori angka. Karyanya yang paling mengesankan dalam teori angka adalah amicable numbers (angka yang bersabat). Al-Farisi mencatat ketidakmungkinan memberikan sebuah cara pemecahan persamaan bilangan bulat.
Dalam Kitab Tadhkira al-ahbab fi bayan al-tahabb (Memorandum for friends on the proof of amicability) al-Farisi memberikan bukti baru mengikuti teori Thabit ibnu Qurra dalam angka bersahabat (amicable numbers) . Amicable number merupakan pasangan bilangan yang mempunyai sifat unik; dua bilangan yang masing-masingnya adalah jumlah dari pembagi sejati bilangan lainnya. Thabit, telah berhasil menciptakan rumus bilangan bersahabat sebagai berikut:
p = 3 x 2n11
q = 3 x 2n1
r = 9 x 22n11
Penjelasannya: n > 1 adalah sebuah bilangan bulat. p, qr, dan r adalah bilangan prima. Sedangkan, 2npq dan 2nr adalah sepasang bilangan bersahabat. Rumus ini menghasilkan pasangan bersahabat (220; 284), sama seperti pasangan (17296, 18416) dan pasangan (9363584; 9437056). Pasangan (6232; 6368) juga bersahabat, namun tak dihasilkan dari rumus di atas.
Teori bilangan bersahabat yang dikembangkan Thabit juga telah menarik perhatian matematikus sesudahnya. Selain Abu Mansur Tahir Al-Baghdadi (980 M-1037 M) dan al Madshritti (wafat 1007 M), al-Farisi juga tertarik mengembangkan teori itu. Dalam Tadhkira al-ahbab fi bayan al-tahabb al-Farisi juga memperkenalkan sebuah karya besar yakni pendekatan terbaru meliputi ide mengenai faktorisasi dan metode gabungan. Pada kenyataannya pendekatan al-Farisi menjadi dasar dalam faktorisasi khusus bilangan bulat ke dalam kuasa-kuasa angka utama.
Diakhir risalahnya, al-Farisi memberikan pasangan-pasangan angka bersahabat (amicable numbers) 220, 284 dan 17296, 18416, diperoleh dari peraturan Thabit dengan n = 2 dan n = 4 berturut-turut. Pasangan angka bersahabat 17296, 18416 diketahui pasangan angka bersahabat Euler.
Sehingga tak diragukan lagi bahwa al-Farisi mampu menemukan angka bersahabat sebelum Euler. Tak cuma matematikus Muslim yang tertarik dengan teori bilangan bersahabat. Ilmuwan yang diagungagungkan peradaban Barat, Rene Descartes (1596 M- 1650 M), juga mengembangkannya. Peradaban Barat kerap mengklaim teori bilangan bersahabat berasal dari Descartes. Selain itu, matematikus lain yang mengembangkan teori ini adalah C Rudolphus./she/taq[republika.co.id]
Friday, October 02, 2009
Subscribe to:
Posts (Atom)